7 ㅡ Flashback

312 51 9
                                    

Vancouver—2013



Suara decitan ban yang beradu dengan jalanan aspal terdengar memekakan telinga. Minho dengan figur tingginya keluar dari mobil ferrari hitam yang baru saja ia kendarai.



“What a nice car, man!” seorang pemuda dengan rambut pirang menepuk bahunya dan mengajaknya untuk ber-high five. Pemuda itu tersenyum puas sambil mengamati mobil Minho dengan seksama.



Get off! Aku ingin mengistirahatkan tubuhku di rumah.” Minho tersenyum dengan getir. Rumah, ya?



Come on, Minho. Tidak bisakah aku mencobanya?”



“Nope. You can try it sometime, Phill,” tolak Minho seraya menyeringai ke arah Phill. Pemuda dengan ear-piercing di telinga kanannya itu hanya dapat menghela napas dan menyingkir. “So, you brought your ass here just for gimme this?!”  Phill berseru tak percaya.




“Tapi besok kau tidak bisa menghindar lagi. Ingat, jam 10 malam tepat di dekat jalanan pantai Kitsilano!” lanjutnya.



Get it!” Minho mengangguk dan mulai menstarter mobil hitam metaliknya menjauhi jalanan sepi.



Melewati Robson street dengan lampu-lampu jalan yang bersinar temaram, Minho mulai mengendurkan tubuhnya. Beberapa kali ia menghembuskan napasnya. Ia berdecak kesal melihat lampu merah yang muncul ketika ia sedang tidak ingin berhenti. Seketika itu ia menginjak gas dan menerobos. Bunyi klakson dari mobil yang berdatangan dari arah berlawanan tak sempat Minho hiraukan, toh dia tidak peduli juga. Bahkan jika ada polisi yang mengejarnya pun ia tetap tak peduli.



Mengingat kalimat Phill tadi membuat Minho menjadi senang tiba-tiba. Ia tidak sabar untuk hari esok. Kali ini ia tidak akan kalah. Ia juga bisa menghabiskan musim panasnya dengan bersenang-senang, tanpa harus berada di rumah—ah bukan, itu bukan rumah, hanya tempat persinggahan saja menurutnya.




###



Suara dentuman musik di kejauhan terdengar membuat sebagian orang terhanyut dalam musik beraliran hip-hop tersebut. Beberapa orang memilih untuk bersantai di bawah matahari senja di pinggir pantai atau bermain voli.



Minho sekali lagi memastikan papan selancar miliknya tidak licin, ia menatap papan yang didominasi dengan warna biru tua itu dengan puas. Melepaskan bajunya, Minho hanya menyisakan celana renang ketat yang ia kenakan. Tubuhnya yang sudah mulai berbentuk di usianya yang masih cukup muda membuat beberapa pasang mata wanita berbikini melirik ke arahnya dengan antusias.



What’s up, man!”  Phill menghampiri Minho dengan dua kaleng minuman soda di tangannya. Seorang gadis dengan tubuh sintal berjalan beriringan dengan pemuda berambut pirang itu.



“Seperti yang kau lihat,” jawab Minho take acuh. Ia menerima minuman yang disodorkan oleh Phill dan meminumnya cepat-cepat.



“Aku tak sabar ingin melihatmu nanti malam, Minho,” ucap gadis berambut kecokelatan yang masih setia berdiri disamping Phill.



“Tentu saja, Claire.” Minho menyeringai senang. Phill menyambutnya dengan tawa renyah dan menepuk-nepuk bahu Minho dengan keras.



“Tunjukkan padanya siapa raja di sini,” sahut Phill antusias. Minho mulai meraih papan selancar yang ia letakkan di atas pasir.



“Tapi sebelum itu, ayo, takluklan dulu ombak di sana, jagoan!” Claire mengecup pipi Minho dan tersenyum melihat punggung Minho yang menjauh.

EmptinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang