3

391 49 2
                                    

Pandanganku lurus-lurus ke arah jalan raya di balik jendela kafe. Beberapa menit yang lalu Key hyung serta eomma sudah meninggalkan kafe—mereka memiliki suatu urusan bersama katanya. Menyisakanku seorang diri, duduk termenung tanpa kegiatan yang jelas dengan tampang bosan setengah mati. Jujur saja, moodku sedang berada di level terendah yang menyebabkanku merasa enggan untuk melakukan apapun—bahkan untuk pulang ke rumah.


Menyandarkan punggungku pada sandaran sofa dan menghela napas berat. Tanpa sadar saat berbincang-bincang dengan eomma tadi, otot-ototku menegang karena berkontraksi dan sekarang sudah seharusnya aku merelaksasikan diri.


Gerakanku yang ingin meminum coffee latte dari gelas terakhirku terhenti di udara ketika melihat ponsel pintar milikku bergetar dan menampilkan ID seorang penelpon yang sukses membuatku mengernyit.



Yeoboseo?” terdengar suara Jinki hyung yang terdengar mengandung kecemasan disana.



“Ya, hyung. Ada apa?” jawabku dengan sedikit agak malas setelah terdiam sesaat. Dari seberang telepon dapat kuketahui bahwa saat ini Jinki hyung sedang menghelas napas.


“Kau ada dimana sekarang, Taemin?” suara Jinki hyung kembali terdengar—tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.


“Sekarang aku sedang berada di kafe milik Key. Sebenarnya ada apa, hyung?” sekali lagi aku bertanya, namun kali ini terdengar lebih serius dari sebelumnya.


“Bisakah kau menemani Minho sekarang? Ponselnya tidak dapat kuhubungi. Aku mengkhawatirkan keadaannya. Ada sesuatu yang terjadi saat makan malam tadi.” Jawaban yang diberikan Jinki hyung membuatku melebarkan mataku sejenak. Sudah kuduga hal seperti ini akan terjadi.



“Baiklah. Apa hyung tahu Minho sekarang berada dimana?” tanggapku dan bersiap-siap untuk segera pergi dari kafe ini.



“Kemungkinan ia akan kembali ke rumah. Aku mohon padamu, Taemin. Minho saat ini sedang membutuhkan seseorang,” suara Jinki hyung melirih pada akhir kalimat. Aku tidak akan menanyakan kejadian lebih detail yang terjadi pada saat dinner yang dilakukan keluarga Choi. Karena aku tahu, ini bukan saat yang tepat.


“Aku mengerti, hyung,” jawabku dengan sedikit lembut. Setelah mengucapkan terima kasih, Jinki hyung memustuskan sambungan telepon kami.



Segera aku beranjak dari kafe dan pergi keluar gedung. Aku sudah menghubungi Pak Park untuk sesegera mungkin menyiapkan mobil. Untuk ukuran orang sepertiku, menginginkan suatu apapun yang kuhendaki bukanlah masalah yang besar. Apapun yang kuinginkan akan tersedia dihadapanku tanpa harus menunggu lama. Seorang Lee tidak suka menunggu.



Pak Park membukakan pintu mobil untukku dan tanpa berpikir dua kali aku segera memasuki mobil. Suara deru mobil mengiringiku pergi meninggalkan SnC Fashion Centre. Setidaknya malam ini aku tidak harus pulang cepat ke rumah dan terjebak dalam rasa bosan yang hampir membunuhku. Menyedihkan, bukan?



Aku menepiskan pikiranku yang mulai bercabang tanpa arah. Saat ini ada hal yang lebih penting untukku pikirkan dan resahkan. Sial! Choi satu itu memang hobi sekali membuat orang-orang disekitarnya cemas. Tapi, bukan berarti aku mengkhawatirkannya, tidak, aku tidak mengkhawatirkannya. Atau itulah yang sedang kucoba tanamkan dalam hatiku.



Kuharap Minho benar-benar sedang berada di rumahnya saat ini.

.

.

.

Rumah yang lebih terlihat seperti sebuah istana megah dihadapanku merupakan pemandangan yang sudah cukup familiar di mataku. Air mancur yang beberapa menit sekali berubah gerakan itu layaknya sedang menari dengan indah diiringi dengan beberapa cahaya warna—warni di sekitar kolam berbentuk lingkaran itu. Percikan airnya menjadi suara khas yang mengundang senyum tipis di bibirku.



EmptinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang