Chapter 7.

7.7K 426 9
                                    

"Tidak ada yang berubah, baik dulu maupun sekarang. Kamu tetap pemilik hati"
-Unknown-

----

Selang berapa menit, lelaki remaja ber hoodie hitam menghampiri meja mereka. Tersenyum sopan dan menarik kursi dekat Ara.

"Buk," sapanya sambil cecengesan dan menggaruk belakang telinganya kala di tatap datar Ara. "Ya elah, Bu. Santai napa!"

"Kamu belum cukup umur bawa motor,Danial." tegurnya tegas.

"Kali ini doang, Bu."

"Awas kalau diulangin,"

"Iya, Bu. Nggak lagi." pelannya dengan wajah nelangsa.

Dora tersenyum melihatnya. Pasalnya sebagai guru, Ara terkenal tegas pada siswanya. Banyak yang segan ditambah pembawaannya yang tegas dan tidak banyak omong.

"Mana yang Ibu minta?!" remaja itu mengeluarkan buku dari tas yang tadi dikenakannya. Dan menyerahkannya pada Ara.

Ara terlihat serius memeriksa buku Danial. Tama jadi leluasa memandangi wajah cantik dalam balutan busana syar'i tersebut. Posisi mereka yang sekarang berhadapan sungguh menguntungkan bagi Tama.

Dora yang menyadarai kalau Tama tidak sedikitpun tidak mengalihkan pandangannya jadi canggung. Rasanya tidak benar saja. Kalau saja Ara menyadari itu dia juga pasti risih.

Dora berdehem dan berhasil menyadarkan Tama. Lelaki itu tersenyum canggung saat menyadari Dora menatapnya dengan alis terangkat.

"Kamu nggak makan,Nial?" tanya Ara disela koreksiannya.

"Boleh deh, Bu. Lagipula kapan lagi bisa makan sama Ibu." modusnya yang berhasil membuat Ara mengalihkan perhatiannya dan menatap garang Danial.

Dora sendiri tersenyum mendengarnya sedang Tama terlihat jelas tidak nyaman."Pesan sana," Danial menurut dan memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya.

"Hai, Adek cantik! Namanya siapa?" sapanya pada Dita yang terlihat tenang dan menghabiskan makanannya.

"Dita," singkatnya. "Abang?"

"Danial," sambil mengacak rambut gadis kecil itu. Danial kembali mengarahka atensinya pada Ara dan tanpa repot mau menyapa Tama.

"Gimana,Bu?"

"Udah betul," Ara menyerahkan kembali setelah usai dikoreksi.

"Sayang yah, aku masih kecil. Kalau nggak aku udah nikahin Ibu." santainya sambil menyeruput es lemonnya.

Tama yang mendengarnya langsung tersedak. Tidak menyangka Ara akan digombalin muridnya sendiri depan mata sendirinya.

"Sekolah yang benar, jangan mikir nikah mulu." tegur Ara l

"Atau kalau nggak sama omku gimana, Bu? Dia ganteng dan mapan." rupanya Danial belum menyerah juga.

"Boleh, kamu kenalin sama Ara ya!" bukan Ara yang menjawab tapi Dora. Tentu saja Danial tersenyum senang sedang Ara menghela nafas.

"Beres,Bu."senyum manis dihiasi wajah tengil semakin nyengir lebar.

Tama menatap tajam Danial. Hatinya sungguh panas apalagi saat Ara terlihat tidak menolak namun tidak juga mengiyakan.

"Gimana persiapan Olympiadenya?" Ara mengalihkan pembicaraan.

"Lancar, Bu." cueknya dengan tangan yang terus mengetuk meja sedari tadi.

"Latihan soalnya semakin diulang-ulang terus jangan lupa berdoa. Ibu yakin kamu bisa." senyum Danial mengembang. Ini salah satu yang membuatnya mengagumi gurunya ini.

Ara tidak pernah menganggap nakal muridnya. Justru merangkul mereka dan mengarahkan pada minatnya masing-masing. Ara percaya setiap anak punya kelebihan masing-masing di berbagai bidang. Tidak harus di akademik saja namun bisa di non akademik.

"Ibu nggak bosan minta sama kamu, untuk lebih menghargai guru-gurumu, Nak. Agar ilmu yang kamu dapatkan bertahan dan berkah. Kamu paham maksud Ibu?"

Danial mengangguk mengiyakan. Setiap permintaan Ara tidak mampu ditolaknya. Ara merupakan guru kesayangannya.

Ara selalu mampu meruntuhkan kebandelannya dengan caranya sendiri. Membuatnya tidak punya pilihan selain menurut dan akhirnya perlahan Ara mampu mengembalikan Danial menjadi murid yang rajin bahkan prestasi yang semakin membanggakan.

***

Interaksi Ara dan muridnya tidak luput dari perhatian Tama. Bangga melihat wanita yang masih dicintainya tersebut mampu memposisikan dirinya. Menegur secara halus tanpa menyalahkan atau menghakimi.

Tama ingat, dia juga banyak berubah dulu sejak bertemu Ara. Jadi rajin kuliah dan mulai belajar sungguh-sungguh begitu tau kalau Ara selalu mendapat nilai bagus tiap semesternya.

Sebagai pacar Tama tengsing begitu dicibir tidak pantas untuk Ara. Gadis itu terlalu sempurna untuknya. Mulai dari situ Tama berusaha berubah. Meski tidak mendapat nilai bagus setidaknya dia tidak perlu lagi mengulang mata kuliah di semester berikutnya.

Tama bahkan masih ingat saat banyak yang patah hati begitu Ara memilihnya. Padahal saat itu banyak yang mendekatinya. Dari senior sampai junior yang semuanya punya otak di atas rata-rata.

Dulu Ara sempat di bully karna lebih memilihnya dibanding Razi si mahasiswa berprestasi sekaligus ketua BEM kampus mereka. Namun Ara selalu mampu menyikapinya dengan santai.

Mengingat itu rasanya menyakitkan saat mereka tidak berjodoh. Bahkan dirinya memilih menikahi wanita lain daripada memperjuangkan hubungan mereka. Wajar rasanya kalau pada akhirnya Ara melihatnya tidak seperti dulu.

"Papa, ngantuk." Dita memecah lamunan Papanya akan masa lalu. Tama menggeser kursinya. Menggendong putrinya dan berpamitan meski sebenarnya dia masih ingin bersama Ara. Tapi keadaan selalu tak berpihak padanya.

Tama memanggil pelayan untuk menanyakan bill mereka. Ara yang melihat itu terlihat tidak enak.

"Nggak usah Mas biar aku aja,"

"Nggak apa-apa biar Mas aja."

"Tapi,Mas."

"Udah nggak pa-pa kok," akhirnya Ara mengalah begitu melihat Tama tidak mau dibantah.

"Mas duluan,ya." pamitnya. Dora membantu memasangkan sepatu Dita yang hampir terlepas.

Ara dan Dora tersenyum singkat. Sedang Danial hanya melirik sekilas dan terlihat tidak peduli sama sekali.

"Hati-hati,Mas." Tama tersenyum sekali lagi sebelum berlalu.

Kedua gadis itu memandangi kepergian Tama dengan pikiran yang berbeda." Nggak nyangka ya dia bisa semanis itu sekarang mengingat gimana dia dulu," Dora membuka suara setelah Tama menghilang di lift.

"Terkadang waktu dan keadaan bisa merubah seseorang. Lagipula itu anaknya wajar dia semanis itu pada darah dagingnya sendiri. Sejahatnya pria kan selalu berusaha yang terbaik untuk anaknya." Dora setuju akan hal itu.

"Yang tadi mantan Ibu,ya?!" Ara menoleh dan memandang lekat Danial sebelum menghela nafas.

"Darimana kamu berpikiran kayak gitu?"

"Feeling aja sih. Dari tadi matanya juga nggak lepas dari Ibu. Nggak bisa move pn dia." enteng Danial yang berhasil menyemburkan tawa Dora.

"Kamu benar. Dia gagal move on." celetuk Dora disisa tawanya yang berusaha diredamnya begitu mendapati tatapan tidak suka Ara.

"Udah punya istri pasti ya," simpulnya sendiri "Nggak baik masih mandangin Ibu kayak gitu. Nggak menjaga perasaan istrinya banget." diam-diam Ara setuju akan pendapat Danial.

"Mending sama omku aja,Bu." rupanya Danial belum lelah mempromosikan omnya.

"Kamu kalau niat mau jodohin ommu sama Ara mending kenalin dulu. Jangan omong doang." tantang Dora yang justru membuat Ara semakin pusing.

"Okay." santainya yang langsung bertos ria dengan Dora.

*Medan, 01 November 2018/ Rabu, 30 Desember 2020

Naraya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang