Chapter 22.

6.8K 349 5
                                    

        "Yang serius itu mendatangi Bapaknya bukan anaknya."
                 -Unknown-

----

      Setelah hampir seminggu memantapkan hati pada yang kuasa Ara dipanggil Papinya.

    Lelaki yang sudah merawatnya selama belasan tahun itu terlihat tenang di tempatnya. Tidak terlihat kegelisahan seperti kemaren lagi.

"Udah dapat jawabannya,Nak?"

"Ara menyerahkan semuanya pada Papi. Papi yang lebih tau yang terbaik buat Ara."

     Hartono mengangguk kepalanya. "Apapun keputusan Papi?" Papi memandangnya lekat.

"Iya,Pi." jawabnya dengan tegas.

"Kamu satu-satunya anak Papi tentu akan memilih yang terbaik untukmu. Maaf kalau Papi selama ini terlihat keras."

   Ara menggelengkan kepalanya dengan berusaha menahan tangis. "Ara ngerti Pi. Nggak pernah keberatan kok dengan semua larangan Papi. Seperti yang Ara bilang Papi lebih mengenal Ara dari siapapun.

    Ara memeluk Papinya erat. Terbayang bagaimana pria senja ini mengurusnya sejak kecil. Segala tumbuh kembangnya bersama Papi selama ini.

"Papi selalu mendoakan yang terbaik untukmu,Nak."

   Ara semakin tergugu dalam tangisnya. Seperti orang tua lainnya Papi selalu mengutamakannya di atas segalanya selama ini. Membuatnya selalu lengkap seperti anak di luar sana.

"Keluarga Alby akan datang begitu proses ta'aruf kalian lancar." Ara tidak membahas begitu banyak lagi.

   Dari reaksinya Ara tau kalau Papi menerima lamaran pria itu. Meski Ara tau sebelumnya Papi telah menyelidiki kehidupan dan pergaulan Alby selama ini.

    Ara terlalu mengenal Papinya. Tentu pria itu tidak akan sembarangan menyerahkan anak gadisnya. Dia masih ingat saat dinyinyiri tante jauhnya dulu.

    Perempuan itu mengatakan Ara akan jadi perawan tua kalau kelamaan memilih. Belum Ara membuka suara, Papi terlihat datang "Lebih baik terlambat menikah daripada salah memilih."

    Sejak saat itu tidak ada yang berani mengatainya pemilih lagi. Papi tidak akan segan mendamprat orang itu. Ara selalu bersyukur jadi anak Hartono Riyadi.

     ***

"Apa yang buat Papi menerima ta'aruf Bang Alby?" tanya Ara sore itu saat sudah menyerahkan proposal ta'arufnya.

"Papi suka dengan keberaniannya. Dia jelas tau aturan."

"Papi nggak kaget?"

"Awalnya iya," desah tidak yakin Papi yang mengundang senyum Ara.

"Biasanya Papi lumayan keras loh,"

"Masa?!" Papi terlihat mengerutkan kening. Ingin rasanya Ara memutar bola matanya kalau tidak ingat itu tidak sopan.

"Malah pura-pura lupa." Papi tergelak.

"Ya, kan Papi cuma mau melihat kesungguhannya. Kamu terlalu berharga untuk dilepas pada pria sembarangan."

   Bagaimana Ara tidak mencintai pria itu. Bersama Papi dia merasa diinginkan. Merasa dicintai. Tanpa perlu memikirkan Ningrum yang tidak peduli padanya.

"Terimakasih sudah jadi putri kecil Papi yang membanggakan."

"Terimakasih juga sudah jadi cinta terhebat yang Ara punya. Selamanya Papi tetap cinta pertama Ara."

      Proses saling mengenal mereka berjalan lancar sejauh ini. Alby bisa menanyakan apa saja mengenai Ara pada Papi dan juga Om Ara.

    Sementara Ara berhubungan dengan Ibunya Danial yang telah lebih dulu dikenalnya. Benar-benar komunikasi berdua mereka tidak ada kalau tidak penting.

Naraya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang