Chapter 9.

7.1K 383 3
                                    

            "Segalanya telah berubah, sejak kepergianmu"
               -Unknown-

----

      Sekolah sudah mulai sepi saat Ara mengeluarkan motornya dari parkiran. Hanya tersisa para siswa yang mengikuti kegiatan extrakulikuler.

      Sekilas pandangannya terpaku kala memyadari siapa yang berada di depan gerbang sekolah. Ara ingin menghindar namun terlambat saat Tama sudah melihatnya. Melambai dan tersenyum padanya.

      Ara mendatangi Tama yang terlihat begitu mempesona dengan kemeja hitam dan celana chinos berwarna khaki.

"Bisa kita bicara?!" Meski diucapkan dengan tegas namun permohonan kental terasa.

"Mas mau ngomong apa?"

"Bukan disini. Kita butuh tempat nyaman." harap Tama yang justru membuat Ara menghela nafas dan menghembuskannya kasar.

"Aku nggak bisa,Mas." Ara terlihat gelisah dan jelas tidak nyaman.

        Sesaat Tama tertegun dan menyadari kesalahannya. Tersadar kalau Ara tidak akan mau berduaan dengannya. Alhasil Ara menelpon para sahabatnya untuk menemani. Namun tidak ada satupun yang sempat.

      Setelah berpikir sejenak, terbersit satu nama yang bisa menemaninya. Segera di dialnya nomor orang tersebut.

"Assalamu alaikum,Bu."

"Wa alaikum salam. Danial, bisa bantu Ibu?"

"Ibu kenapa?" paniknya tiba-tiba.

"Ibu nggak pa-pa. Jangan panik. Sekarang Ibu lagi di gerbang sekolah." tanpa mendengar jawabannya Danial mematikan sambungan telepon.

     Ara merutuki sikap tidak sopan muridnya tersebut. Namun di marahin juga percuma, remaja itu selalu punya seribu jurus ngeles yang justru membuatnya mengurut dada.

"Ada apa Bu?" tanyanya setelah jarak mereka dekat. Sekilas diliriknya Tama sebelum kembali memusatkan perhatian pada Ara.

     Ara menjelaskan dan Danial terlihat menyimak. Penjelasan dari Ara justru semakin menambah kekagumannya pada gurunya tersebut.

      Sejujurnya Tama hanya ingin bicara berdua dengan Ara. Tidak ingin ditemani siapapun. Apalagi bocah yang sedari awal tidak menganggap keberadaannya.

      Ara membawa mereka ke sebuah cafe yang berada di deretan ruko seberang sekolah.

"Mas mau ngomong apa? Aku nggak punya banyak waktu." Ara tidak menutup-nutupi keenggananya. Tama melirik sekilas Danial sebelum membuka suara.

"Mas minta maaf atas apa yang telah terjadi dulu."sesalnya sambil menundukkan kepala "Mas merasa bersalah banget sama kamu."

       Ara diam tanpa berniat menyela. Membiarkan Tama mengeluarkan semuanya. Danial sendiri tidak terusik sama sekali. Sibuk dengan ponsel di tangannya.

"4 tahun Mas coba buka hati dan belajar mencintai Deolinda, tapi Mas nggak bisa. Perasaan ini masih untukmu. Sekalipun udah Mas coba buat lupain kamu."

"Mas ingin kembali sama kamu." katanya tanpa tau malu.

"Jangan gila kamu Mas. Mau dikemanain istrimu." berang Ara. Rasanya tensinya langsung naik.

"Aku bisa ceraiin dia." entengnya tanpa merasa bersalah sama sekali.

    Tidak pernah sekalipun Ara ingin mencekik seseorang. Tapi rasanya saat ini dia ingin melakukannya. Kali aja kewarasan Tama kembali saat dia mencekiknya.

    Ara memejamkan matanya sesaat untuk menetralkan emosinya."Jangan kayak gini Mas. Kalian punya Dita."

"Aku bisa meminta Dita dalam pengasuhanku."cukup sudah! Kesabaran Ara sudah habis. Daripada dia meledak dan berakhir mempermalukan diri sendiri mending angkat kaki.

"Maaf Mas aku nggak tertarik buat merebut kebahagian wanita lain.  jangan temuin aku lagi." setelah mengatakan itu Ara berdiri dan meninggalkan tempat disusul Danial. Meninggalkan Tama yang terdiam dengan pandangan sendu.

"Aku nggak akan nyerah atasmu, Ra." teriak Tama yang berhasil menghentikan langkah Ara sesaat. Tapi kembali berjalan cepat tanpa mau berbalik sama sekali.

     Danial yang berbalik dan menatap tajam Tama. Rasanya dia ingin menghajar lelaki tidak tau diri itu.

"Ibu bisa bawa motornya sampai rumah?" tanya Danial begitu mereka sampai di sekolah.

"Bisa. Makasih udah nemanin Ibu." Danial mengangguk dan memandangi kepergian Ara.
      Danial juga sudah diwanti-wanti agar tidak menceritakan kejadian ini sama Papi. Sebagai anak baik Danial menyetujui.
      ***

      Ara sampai bertepatan dengan azan Ashar berkumandang. Bergegas membersihkan diri sebelum melaksanakan kewajibannya.

    Tangisnya meledak saat menyadari Tama menganggapnya perempuan murahan yang bisa di tinggal pergi seenaknya. Ara merasa berdosa sekali pada keluarga Tama.

     Dan lebih menyesal karna mengikuti keinginan Tama. Kalau saja dia menolak dengan tegas tadi pasti dia tidak harus mendengar keinginan gila tersebut.

    Ara tidak pernah menyangka kalau Tama akan sesinting itu demi dirinya. Padahal yang terjadi Ara sudah melupakan semua masa lalunya jauh sebelum pertemuan mereka.

    Menjadi penyebab kesakitan orang lain tidak pernah ada dalam hidupnya. Pun dalam mimpi buruknya. Dia pernah jadi saksi kehancuran sahabatnya akan wanita lain. Bagaimana bisa Tama berpikir dia akan mengikuti ide gila itu.

    Bahkan walau hanya Tama lelak iyang tersisa, dia tetap akan menolak. Pantang bagi seorang wanita jadi duri dalam rumah tangga wanita lain.

     Pulang dari mengecek toko, ponselnya berbunyi. Menampilkan sebuah chat dari nomor yang tidak terdaptar.

Kamu yang paling tau dan ngerti Mas. Dan Mas ingin mengakhiri siksaan ini.

kita sudah sudah lama selesai dan aku sudah menutup kisahku tentangmu. Sejak kepergianmu.
  
        Ara menutup ponselnya tanpa membaca balasan yanh baru berdenting dari ponselnya. Tanpa dijelaskan panjang lebar dia tau siapa yang mengirim pesan.
Membiarkan pria itu mengiriminya pesan teks tanpa berniat membalas bahkan membacanya.

*Medan, 9 November 2018/ Kamis, 31 Desember 2020.

Naraya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang