Hari-hari tanpanya di sekolah rasanya aneh ya? Mungkin aku saja yang belum terbiasa? Entahlah, biasanya ia sering kulihat sedang bermain basket di lapangan, atau mencari buku di perpustakaan, atau juga membeli isotonik dan roti cokelat di koperasi sekolah. Kini yang tersisa hanya bayang-bayangnya saja.
Aku jadi ingat pun sebelum bisa mengenalnya sejauh ini. Aku hanya bisa memandangnya dari balik jendela, dari kejauhan, menatap jaket hitam yang membungkus dirinya.
Setiap pulang sekolah, aku dan Alan masih sering ke kelas jingga untuk mengajar. Kami mengajar bergantian, Alan mengajar yang biasanya Bara ajarkan, dan aku mengajar materi yang Alan ajarkan. Walaupun Bara harus dirawat inap lumayan lama, jangan sampai kelas jingga ditelantarkan dan membuat anak-anak jalanan itu kembali lagi untuk mencari rupiah, mengamen, atau bahkan mencopet. Jangan sampai terjadi, pasti Bara akan sangat kecewa jika mengetahuinya, maka dari itu aku dan Alan selalu menyempatkan untuk ke kelas jingga. Meskipun rasanya amat berbeda, suasana tentangnya lebih terasa.
Bahkan aku dan Alan dihujani banyak pertanyaan tentang Bara.
"Kak Farah, kok Mas Bara nggak ngajar lagi, ya? Apa emang udah nggak mau ngajarin kita lagi?" tanyanya dengan wajah polos.
"Hehe, bukan begitu cantik. Mas Bara itu lagi sakit, kita doain aja ya semoga cepet sembuh. Biar bisa kumpul bareng lagi sama kita di sini, oke?"
Setelah selesai mengajar di kelas jingga, aku jadi lebih sering diantar pulang oleh Alan. Katanya Bara pernah menitipkan pesan kepadanya kalau saja Bara kenapa-kenapa atau sedang berhalangan untuk mengantarku pulang. Ia mempercayai Alan untuk menggantikan posisinya. Namun setelah selesai mengajar terkadang aku juga sering menjenguk Bara di rumah sakit barang sebentar. Di sana ia sudah mendapatkan perawatan yang lebih intensif, keluarga-keluarganya juga menunggunya. Saat kemarin aku ke sana, pas sekali bertemu dengan ayahnya Bara. Sama seperti dengan Bara, cara bicaranya lembut, mempunyai kharisma tersendiri.
"Ini yang namanya Farah ya?" tanyanya saat aku menyalami tangan beliau lantas duduk di sebelahnya.
Aku mengangguk, "Hehe, iya om."
"Kenalin nama Om, Ferdi. Ayahnya Bara. Dia sering cerita tentang kamu sama om loh. Kadang setiap malem Om sama Bara suka ngopi di teras rumah sambil nostalgia tentang Mamanya Bara, juga Om selalu maksa Bara buat terbuka tentang hari-harinya. Nah pasti tuh setiap hari yang diceritain ya kamu terus Nak. Ternyata emang bener ya anaknya manis sekali."
Aku hanya menggeleng pelan sambil tersenyum, "Oh iya Om, gimana keadaanya Bara sekarang?"
"Oh kalo keadaanya alhamdulillah sudah membaik, sudah tidak kritis lagi. Mungkin sekarang sedang tidur, tadi sih sempat terjaga beberapa saat."
Aku mengangguk, ada perasaan lega di hati. Melihat Bara yang telah berjuang melewati masa kritisnya. Lalu saat itu biasanya Alan menungguku dari luar dan mengajakku untuk pulang. Sekali dua kali tidak apa, tapi aku merasa akan sangat merepotkannya. Jadi saat itu aku memutuskan untuk pulang sendirian naik metro mini atau busway dengan alasan kalau sore-sore begini masih ramai jadi Alan nggak usah khawatir.
Sebenarnya ini kesalahanku, salahku yang berani sekali mengambil keputusan untuk pulang sendirian menaiki busway. Karena rasanya semakin sakit, seperti luka yang berdarah lalu kau guyur dengan air keras, aku bukan membangun kembali kenangan, apalagi sengaja masuk ke ruang nostalgia hanya untuk mengingatnya. Sudah cukup, rindu yang aku tanggung sendirian saja sudah sangat perih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Night Talks Before Go To Sleep.
Fiksi Remaja[SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA] "Sekumpulan pesan dan harapan yang kini terhapuskan" - Obrolan malam antara kita berdua, coretan yang menumpuk menjadi sebuah puisi yang tak pernah kau baca, dan juga tentang kisahmu.