Venus

47 6 1
                                    

Dikirim oleh: BukansitusMahameru@email.com

Hei, aku orang yang tadi ngobrol di bioskop. Tolong temui aku di Mall tadi, secepatnya ya. Lantai 4A.

Zea mengernyit. Pemuda itu pasti menghapal emailnya saat ia menunjukkan berita bagus tadi. Hal itu membuatnya merinding. Stalker? Bagaimana bisa ia ke lantai 4A? Selesai dibuat saja belum. Ia memasuki lift dekat tangga darurat, ia melihat tombol lantai 4A disana. Mungkin lantai tersebut baru selesai dibuat, pikirnya. Namun hal yang ia dapati selanjutnya membuktikan bahwa dia salah.

Ruangan di hadapan lift tersebut gelap gumintang, walau terlihat samar kayu dan beton bangunan berserakan di lantai. Bulu kuduk Zea berdiri, bahkan sampai ia mendengar suara langkah kaki ke arahnya. Bagaimana jika orang itu adalah penculik? Pencopet? Pembunuh? Gadis itu menggenggam ponselnya erat-erat.

Pemuda dengan backpack raksasa yang ia temui tadi berlari memasuki lift, berkeringat dan sedikit terengah. Tanpa ada ventilasi yang baik di bagian bangunan tersebut, cowok itu pasti sangat kepanasan.

"Astaga," keluh lelaki itu, lalu menoleh ke penyelamatnya dengan senyum cerah. "Makasih banget. Kamu satu-satunya orang disini yang bisa aku kontak."

"Gimana caranya," Zea menekan dalam-dalam suaranya untuk menyiratkan kekesalan dan rasa tidak percaya. Tangannya memencet tombol untuk menutup pintu dan mereka turun menuju lobi, dan ia melanjutkan, masih dengan nada yang sama, "Kamu bisa ada di sini."

"Kamu terdengar seperti ibuku," lelaki itu justru berkomentar. "Salahkan kepada pemilik Mall yang memberikan akses untuk naik ke lantai yang belum selesai dibangun, tapi tidak memberikan tombol di luar lift agar aku bisa membuka lift itu setelah tertutup dan tidak terkunci dari dalam." Ia melanjutkan bertubi-tubi.

"Yang harus disalahkan adalah orang yang berjalan keluar lift itu, padahal sudah tahu lantai itu belum selesai dibangun," Zea berkata.

"Kau benar juga," ucap pemuda itu. Ia menarik napas dalam-dalam begitu mereka sampai ke lobi. Ia lalu berbalik kearah Zea, seringai masih terukir di bibirnya. "Begini, aku minta maaf. Bagaimana kalau aku traktir sebagai gantinya? Kau tahu warung kopi yang murah sekitaran sini?"

Zea mengangguk cepat. Dingin-dingin begini, kedai kopi Bu Ajeng adalah pilihan terbaik. Lagipula, ekonomi Zea sedang tidak ada di posisi dimana ia dapat menolak traktiran.

***

Kedai kopi Bu Ajeng hanya berupa saung dengan satu ruangan yang digunakan untuk memasak. Letaknya tidak jauh dengan kebun ayah Zea. Pada malam hari, desa ini memang jarang menyalakan lampu setelah jam setengah delapan malam. Tidak hanya hemat listrik, anak-anak jadi tidak suka berkeliaran. Untuk tetap menjaga tradisi itu, Bu Ajeng memilih menyalakan api unggun di dekat saung, kecuali saat hujan. Satu-satunya lampu hanya di tempat memasak.

Ketika makanan dan minuman terhidang, mereka langsung menyambar makanan yang tersedia. "Aku belum tahu namamu," kali ini Zea yang memulai percakapan. Ia menunggu pemuda itu menelan pisang gorengnya dan menjawab.

"Batara Mahameru. Panggil saja Meru."

"Mahameru? Seperti nama gunung?"

"Iya," pemuda itu mengambil satu lagi pisang goreng, "Keren kan? Namamu siapa?"

"Zea Asta." Nama panjang Zea terasa sangat pendek dibandingkan dengan dengan Meru.

"Namamu seperti..." Meru menunjukkan pose berpikir keras, lalu kembali melihat Zea, "...seperti nama latin jagung."

Gelak tawa kembali memenuhi malam. Zea angkat bicara, "Percaya atau tidak, namaku memang diambil dari Zea Mays, nama latin jagung. Ayah bahkan sempat hampir membawa Mays di namaku. Tapi dimarahi ibu, disuruh ganti dengan Asta."

"Kalau Asta, apa artinya?"

Zea tersenyum lembut, tatapannya mencari teman-teman kelipnya di atas langit. Dari Pluto, mereka terlihat jauh lebih jelas.

"Asta artinya terang seperti bintang."

***

Pertemuan di warung kopi itu tidak berlangsung lama, tapi mereka setuju untuk bertemu esok siang. Meru berkata bahwa ia memang sedang menjelajahi berbagai pelosok daerah selama gap year yang dipilihnya. Ia akan menetap di daerah sini sampai kuliah tiba.

"Kalau begitu, aku ke penginapan dulu," lelaki itu berkata ketika Zea pamit. "memangnya kau tidur dimana?" Gadis itu bertanya. "Tempat kos. Lupa namanya. Di dekat Mall kok - " pemuda itu berusaha mengingat-ingat. "Tempat kos Sari Asih?" Zea mensugesti. Meru mengangguk membenarkan.

Pluto (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang