Catatan sejarah #2
Luka lama.Bertemu dengan Meru seakan menjadi rutinitas yang dilakukan hampir tiap minggu. Sesekali mereka berjalan kesekeliling, sesekali Meru turut membantu Zea dan ayahnya berkebun. Tempat mereka bertemu selalu sama: Pluto.
Kali ini, setelah membantu Pak Gede - panggilan terhormat untuk ayah Zea - berkebun, beliau mengajak Meru untuk makan bersama. Sepertinya Pak Gede memang menyukai anak itu - apalagi dengan berbagai petualangannya mendaki gunung dan menyusuri Indonesia. Beliau memiliki banyak kemiripan dengannya. Mereka membicarakan sesuatu tentang Gunung Bromo, sesuatu yang Zea tidak mengerti.
"Mer, kalau kau tak suka makan buah pakai nasi, ambil saja daging rusa disana."
Meru yang sibuk menatap kaget keluarga Pak Gede yang lauknya beragam, dari sambal sampai buah-buahan dicampur dengan nasi, mengangguk dan memakan daging tersebut.
"Kalau Zea ini ya, pergi ke gunung tidak suka dia. Sama saja seperti duduk-duduk di pohon mahoni deket kebun, katanya. Tidak tahu dia gimana rasanya di gunung."
"Kapan-kapan aku ajak ke naik gunung, Ze," canda Meru.
"Bawa sajalah," ucap Pak Gede. "Butuh pengalaman baru dia."
Pak Gede lalu menyuruh Zea mengambil album foto dimana pria tua itu bertualang saat masa mudanya. Gadis itu menuruti, berjalan menuju lemari penyimpanan barang lama. Saat itu pula, ia melihat satu botol pil sisa seperempat bertengger sendiri di ujung tempat kayu tua tersebut.
Sudah kadaluarsa, ya? Diraihnya botol itu. Senyum pahit terukir di bibirnya. Dari lantai bawah ayahnya memanggil, dan gadis itu cepat-cepat memasukkan benda kaca itu ke saku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluto (Completed)
Teen FictionZea Asta. Pengamat langit terbaik di dunia. Batara Mahameru. Petualang bumi dan waktu. Di Pluto, dunia mereka berubah. [Dibagi dalam chapter pendek]