Jupiter

31 6 0
                                    

Catatan sejarah #3
Sebuah puisi tentang hantu.
Dinyanyikan oleh langit sore dan Zea Asta.
Disaksikan oleh Pluto dan Batara Mahameru.

"Zea Asta!" terdengar seruan dari bawah Pluto.

Zea menunduk, mendapati Meru sedang memanjati pohon tersebut. Lelaki itu sekarang punya kebiasaan aneh memanggil Zea dengan nama panjangnya - lebih gampang diucapkan, katanya. Di tangannya terdapat sebuah koran. Zea berharap Meru tidak akan membicarakan hal itu, alas, harapannya tidak terkabul. Meru memamerkan puisi yang berjudul Pemajang Cinta Tidak Ada Lagi di depan matanya.

"Puisimu keren," ucapnya. "Pake banget."

"Meru, tolong," Zea menyembunyikan wajahnya yang memerah malu. "Jangan dibaca."

"Telat ngomongnya, Ze. Lagian, ini 'kan sudah di koran."

"tapi - "

"Aku suka caramu mengkritik Orang Indonesia. Apalagi bait terakhirnya." Pemuda itu lalu membacakan bagian puisi yang dimaksud sambil menghindari tangan Zea yang berusaha menutup mulutnya.

"Minoritas pemajang. Terkuburi.
Mayoritas pencuri. Masih berlari.
Sudah mati seribu kali
Masih saja tidak berarti."

"Sudah, sudah!" ucap Zea.

"Jangan merendah, ah!" seru Meru. "Sebagai penulis, kamu 'kan harus percaya diri. Kamu pasti punya puisi lagi, kan? Beritahu aku!"

Tentu saja Zea memiliki banyak puisi tersimpan di otaknya, tapi ia tidak tahu bahwa Meru akan menyukainya. Puisinya terlalu abstrak untuk dibaca. Ia telah menyerah menunjukkan puisi tersebut karena minim sekali orang yang mengerti.

"Memangnya sejak kapan kau suka puisi?" tanya Zea hati-hati.

"Semenjak kamu bilang kau suka puisi," kali ini Meru yang tertawa malu, "kira-kira beberapa hari yang lalu. Sejak itu aku mencari tentang puisi di Google. Sekarang aku mengerti kenapa ada orang yang menyukainya."

Mendengar hal itu, Zea tersenyum. Ia menghela napas, lalu memberi tahu, "Ini puisinya tentang... Hantu."

"Hantu?" ulang Meru.

Zea mengangguk. "Jika terlalu aneh untuk dimengerti, aku minta maaf."

"Coba saja."

Dengan begitu, Zea memulai membacakannya - ia telah hapal puisi ini diluar kepala.

Hantu

Aku ingat siang mengayun
Memeluk kaki; terik tanpa ampun
Dalam kekosongan kutanya: "siapa kamu?"
Di balik bening, kau jawab: "temanmu."

Terpampang; bukan lagi transparan
Tak ranap tak juga gamblang
"siapa kamu?" Tanyaku.
"hitam putih," jawabmu.
Di atas balkon, kala musim hujan
Krayon patah-patah buatku jadi seniman

Hantu itu putih abu. Kau warna-warni.

Sunyi;
Hantu menakuti. Hantu mendesak-mengikuti. Kau lebih peri.

Siapa peduli?
Aku ingin bertemu sekali lagi.

Keheningan menyapu setelah itu, tetapi bait-bait puisi itu masih di udara, perlahan meresap ke hati mereka masing-masing. Sebuah kesamaan antara mereka berdua dengan puisi itu: tiga-tiganya sulit dipahami. Meru memulai pembicaraan, masih ada sisa rasa terperangah di suaranya, "Jadi, Hantu ini, adalah seorang teman dari tokoh lama yang pergi?"

Zea mengangguk.

"tokoh utama ini ikut membangun karakter si Hantu, 'mewarnainya' artinya turut memberikan cerita dan kebahagiaan kepadanya."

Zea mengangguk lagi.

"Apa ini dari pengalaman pribadi?" Meru bertanya hati-hati. "Kau tidak usah menjawab kalau tidak perlu."

Anggukan Zea kali ini lemah. Ia lalu menjelaskan, "Tetapi temanku itu menghilang. Bukannya pergi."

"Diculik? Kabur?"

"Bukan," tegas Zea. "Menghilang."

Sadar bahwa gadis itu tidak akan menjelaskan lebih lanjut perihal si Hantu tersebut, Meru hanya menggumam, "Oh."

Lagi-lagi, keheningan nan tenang kembali meresapi mereka. Iris mereka bertemu. Dua-duanya tidak banyak bercerita tentang diri pribadi, tapi rasanya mereka telah mengenal satu sama lain seumur hidup. Cuitan burung, raungan kerbau, serangga kebun, hal-hal aneh itu membentuk simfoni. Senyum terukir di bibir mereka. Isi pikiran mereka serupa - bahwa mereka ingin irama sore dan cahaya mentari yang seakan terbenam di hati mereka ini abadi. Jikalau mereka bersama, apapun yang dilakukan terasa hangat.

Sebuah kalimat mutiara dari Bu Gede,
begitu Zea menceritakan sesuatu yang tumbuh entah sejak kapan di dadanya:

"Akan ada banyak orang yang membuat hatimu berdebar, Ze," tangan kasarnya membelai lembut rambut Zea. "Tetapi yang dapat membuatmu berdebar dan dapat menenangkannya-lah yang terbaik."

Pluto (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang