Saturnus

28 6 0
                                    

Catatan Sejarah #4
Bintang, gunung, dan awal baru.

Zea tersengal-sengal sambil meminum air minum bekalnya. Mereka sedang beristirahat dalam perjalanan mendaki gunung kebanggaan desa mereka, yang tidak pernah Zea dekati puncaknya sedikitpun.

Ya, tentu saja seorang Batara Mahameru adalah satu-satunya orang yang dapat mendorong gadis rumahan itu melakukan hal ini.

"Masih mau lanjut?" ucap Meru dengan nada khawatir. Zea menggeleng.

"Nanggung, sedikit lagi."

Gunung tersebut bukanlah tempat yang baik untuk pemula dalam hiking, tetapi Meru cukup handal. Tangannya protektif melindungi Zea untuk memastikan gadis itu tidak menginjak jalan yang salah maupun oleng. Untung saja, mereka dapat menghampiri puncak saat malam tiba. Mereka membuat tenda, menunggu sampai jam setengah delapan, dan satu persatu lampu desa dimatikan, dan polusi cahaya yang memang tidak terlalu parah menghilang. Disini, bintang begitu jelas, begitu dekat - seakan jika Zea mengangkat tangannya, mereka dapat teraih.

"Indah," ujarnya. "Bagus banget."

Meru tersenyum menatap gadis itu. Indah.

Mereka menatap bintang bersama, dan di tengah-tengah waktu itu, Meru berbicara.

"Zea, aku.. -"

Zea menoleh padanya, bertanya-tanya.

"Aku menyukaimu," ujar Meru, tidak seperti dirinya yang biasa, kata-kata itu ia ucapkan perlahan.

"Aku menyukaimu juga," ucap Zea.

Hening.

"Apa?" ucap Zea.

"Aku tidak mengira kau akan menjawab secepat ini," Jelas Meru, masih tampak terkejut.

"Kau tahu, kita harus sering-sering ke tempat ini."

"Kau mau menamainya juga?"

Zea mengadah ke langit penuh bintang, dahinya mengkerut tanda berpikir, "Kau tahu, di Saturnus sering terjadi hujan berlian?"

"Tidak."

"Saturnus, kalau begitu," Zea tersenyum.

"Saturnus." Meru setuju.

Pluto (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang