Pluto

23 6 0
                                    

Catatan sejarah #6
Bintang, akan mati juga.

"Schizophrenia."

Bahkan setelah beberapa tahun, kata-kata itu masih terasa seperti kejutan listrik di tubuh Zea. Mengenal Meru, ia pasti mencari tahu kegunaan obat itu.

Meru ikut memanjat Pluto, duduk di sebelah gadis itu. "Aku minta maaf."

Zea menghiraukannya. "Sebenarnya, aku mengidapnya sejak enam tahun. Baru bisa sembuh umur tujuh belas. Dalam prosesnya, aku kehilangan teman-temanku. Dua puluh kelinci khayalan."

"Dan Hantu?"

"Dan Hantu. Dia adalah sahabatku. Kakak laki-laki yang selalu aku inginkan. Dia yang pertama menamai pohon ini Pluto. Semakin lama aku meminum obat itu, semakin ia memudar. Aku merindukannya, Mer. Ketika ia dan yang lain pergi, aku tidak punya teman lagi. Aku sembuh tapi kesepian. Orang-orang desa sudah mencapku aneh." gadis itu memijat pelipisnya. "Aku tidak mau kita berkompetisi akan masalah yang pernah kita alami, tapi kau tidak bisa seenaknya merendahkan kehidupan orang lain karena kau tidak tahu masalah mereka."

"Zea, aku benar-benar menyesal." Ia menggenggam tangan Zea. "Kau hanya mau menenangkanku. Aku justru menyakitimu." Matanya berkaca-kaca - seperti mata Zea. "Kau benar. Masalah kita adalah soal percaya. Kita bisa memperbaiki hal ini. Jika ini membuatmu lebih baik, aku ingin tinggal bersamamu. Disini. Kuliah Arkeolog terdekat disini bukanlah yang terbaik, tapi aku ingin bersamamu. Aku bisa mencari tempat kerja di Desa ini."

Zea terdiam - tatapannya menyusuri perkebunan, menimang-nimang. Air matanya turun membelai pipinya, seakan berusaha menenangkan jiwanya yang kalut. Akhirnya ia berkata, "Meru, kau harus pulang."

Suara kecil Meru menusuk Zea, "Kenapa?"

"Aku mau putus. Aku minta maaf." Suaranya bergetar. Zea hampir menyesal, tapi itu satu-satunya cara. Tapi dengan ini, ia mengorbankan segalanya. Segalanya.

"Setidaknya jelaskan kenapa." Meru tidak terlihat lebih baik dari dirinya.

Kekosongan menyapa. Seakan meminta izin untuk menenggelamkan mereka, membiarkan mereka tidak dapat bernapas dalam kesepian. Kata-kata yang terucap selanjutnya, oleh Zea Asta, menarik mereka berdua ke jurang yang lebih dalam dari penderitaan itu.

"Aku... tidak bahagia."

Dan begitulah caramu membunuh seorang lelaki.

Pluto (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang