Awan mendung melintas di kepalaku, yang sepertinya sudah siap menumpahkan segala isinya jatuh menyentuh tanah. Membuat orang-orang harus mengeluh karena sebentar lagi akan turun hujan.
"Sebentar lagi pasti turun hujan" gumamku dengan kepala yang mengadah ke atas. Rapat OSIS tadi melelahkan sampai aku harus pulang sore.
"Kasih, kamu belum pulang?"tanya Baron sambil berlari mendekatiku .
Baron adalah wakil ketua OSIS di sekolah. Karena aku ketua OSIS maka seringkali berdiskusi dengannya tentang acara-acara sekolah, hingga akhirnya terjadi keakraban.
Aku menoleh sambil tersenyum lalu kujawab sambil tersenyum, "Belum,ini masih nunggu angkot"
"Mau bareng" tanyanya. Aku menggeleng pelan dengan senyum yang masih tercetak pada wajahku. Dia terliha kecewa karena jawabanku, tetapi aku sungguh tidak mau.
"Kalau begitu, aku duluan" katanya sambil melemparkan senyuman manis kepadaku. Aku mengangguk cepat.
Tetesan hujan sudah mulai turun. Angkot hijau yang kutunggu selalu saja penuh. Aku berlari menuju halte di sebrang sekolahku.
"Lama sekali" gerutuku sambil menengok kanan dan kiri mencari angkot yang kutunggu.
Hujan akan semakin deras. Aku tidak bisa lama-lama di sini, karena ibu menungguku pulang.
Aku terpaksa berlari menerobos hujan, untung saja rumahku tidak terlalu terlalu jauh dari sekolahku. Badanku menggigil karena air hujan yang mengguyurku.
Aku berdiri di depan pintu yang sudah lapuk. Mengintip melalui jendela memastikan apakah ibuku ada di dalam atau tidak.
Sambil mengehela nafas ku pastikan di rumah tidak ada siapa-siapa.
Aku hanya tinggal dengan ibuku, ayahku pergi meninggalkan kami, dan aku adalah anak tunggal. Aku dan ibuku juga tidak dekat.
Kami tinggal di sebuah rumah kecil dan lapuk, mungkin tidak bisa disebut rumah, karena penampilannya yang lebih seperti gubuk. Aku membuka pintu dengan pelan.
"Dari mana saja kamu!" ucapannya yang dingin menusuk telingaku. Padahal tadi aku yakin bahwa tidak ada siapa-siapa di rumah.
