Prolog #part2

206 11 0
                                    

Part 2

Setelah pertemuanku dengan Nur dua minggu lalu, ada satu hal menarik yang baru ku ketahui. Nur dan keluarganya memutuskan kembali ke Lumajang setelah tinggal 20 tahun di Palembang. Wahh, aku sangat antusias dan bahagia mendengarnya.

Aku tak dapat menyembunyikan rasa senangku seharian. Rekan kerjaku, Ahmad, sampai bingung keheranan melihat betapa energiknya diriku ketika di kantor.

"Kau nampak ceria sekali hari ini, ada kabar baik?"
"Jelas, kau pasti terkejut mendengarnya.", jawabku.
"Soal Nur?", tanyanya.
"Iya, dia jadi pindah ke sini. Hehe"
"Sungguh? Kapan?", tanya Ahmad penasaran.
"Minggu depan. Asal kau tahu, bung, entah mengapa sekarang aku tertarik padanya.", jawabku.
"Apa? Kau tak ingat tingkah pecicilan yang mendarah daging padanya? Hahaha.", ujar Ahmad.

Kami bertiga sudah bersahabat sejak kecil, ditambah orang tua kami yang juga bersahabat sejak SMA. Kami saling menyayangi satu sama lain layaknya saudara. Ahmad yang ku anggap seperti abang sendiri. Dan Nur yang ku anggap sebagai adik perempuanku. Tak pernah ku duga akan jatuh hati padanya saat ini. Dunia memang aneh, semua rasa dan pemikiran akan berbeda bila masanya juga berbeda.

...

Seminggu berlalu, dan ku putuskan untuk menyambut kepulangan Nur dengan berkunjung ke rumahnya. Berangkatlah aku dengan Ahmad naik motor pemberian almarhum bapakku. Motor kesayanganku, motor yang menjadi saksi perjuangan hidupku.

"Duar!"

Seketika ban motor bocor, dan meletus di tengah jalan. Ada-ada saja. Kesal sekali hati ini, baru 5 menit berangkat, dan kami pun harus menuntunnya ke tambal ban terdekat.

Dekat?

Ku rasa tidak.

2 km kita menuntun dengan napas terengah-engah. Dekat dari mana?

"Sabar, bro. Perjuanganmu akan terbayar. Hehe.", Ahmad berusaha menghiburku.

Hanya senyum tipis yang mampu ku tunjukkan, agar Ahmad lega hatinya.

...

Sesampainya di sana, ternyata Nur tak di rumah. Ibunya berkata "Nur sudah pergi sejak pagi tadi, sampai sekarang belum pulang. Entah kemana dia sebenarnya? Umi juga ndak tahu, nak.". Ya sudahlah, dengan berat hati, kita pun berpamitan dan juga memberikan pisang agung titipan ibu.

"Kami pamit pulang ya, Umi. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, nak. Hati-hati ya. Titip salam sama ibumu.", jawabnya dengan senyum sumringah.

Setelah aku berpasrah hati sebab tak dapat bertemu dengan Nur, tiba-tiba terdengar teriakan dari halaman rumah Nur.

"Oiii, kalian mau ke mana?"

Ternyata, sesaat setelah kita pamit, Nur baru saja pulang. Terlihat lambaian tangan mungilnya dari kejauhan.

"Subhanallah ..."

Kami pun kembali lagi ke rumah Nur untuk sekedar menyapanya. Sebab hari hampir petang kala itu.

Sembari pulang, aku pun berpikir keras. Mengapa hari ini begitu berat, tak seperti seharusnya. Disaat hati berniat bertemu dengan Nur ada saja halang rintang. Namun ketika hati telah berpasrah, justru kemudahan yang datang.

Barulah ku sadar dan ingat kisah Zulaikha dan Nabi Yusuf As. Ini mirip sekali.

Ketika aku mengejarnya Allah sulitkan, tapi ketika aku berpasrah dan justru mengejar-Nya segalanya Allah permudah.

Aku pun tertawa dan membuat Ahmad bertanya-tanya. Lalu, entah mengapa ku lihat awan dan langit biru, seolah ia tersenyum melihatku dan berkata "Sudah sadarkah engkau?"

"MasyaAllah."
Allah sungguh Maha Kuasa.

→ Prolog Part 3

NurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang