12. Di Rumah Minum

29 6 0
                                    

Sebuah tangan mengembalikannya ke kenyataan. Gadis itu hendak memberontak, namun tangan itu lebih lembut dari dugaannya. Tidak ada keinginan untuk menyakitinya lewat sentuhan itu. Martin menariknya pergi dan segera saja mereka sudah berada di sisi lain tembok batu rendah dan berlari ke dalam hutan. Sejauh mungkin dari sana. Menghilang.

Dia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi dia sudah berada di tepi sungai lagi ketika ia sadar. Dirinya terbatuk-batuk keras sampai dadanya sakit. Kedua tangannya menyentuh tanah berlumpur. Martin berjongkok di sampingnya sambil menggosok punggung Violet.

"D-dia ... Lisa ..."

"Aku tahu," gumam Martin, masih terus menggosok punggung si gadis. "aku tahu."

Violet menarik napas panjang dan bicara dengan suara tersendat. "Apa dia mati karena salahku?

"..."

"Apa itu salahku?"

"Bukan. Itu bukan salahmu. Hidupnya memang selalu sulit. Aku lumayan mengenalnya. Kematian lebih baik bagi dirinya." dia menengadah menatap langit bertabur bintang.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak membuat suasana membaik. Violet mulai mengeluarkan air mata. Kehilangan seseorang yang dekat denganmu itu menyakitkan. Dan Violet tidak mau lagi merasakan hal itu lagi seumur hidupnya. Tidak mau. Martin dibuat bingung olehnya yang menangis. Ia membiarkan Violet mengeluarkan semua emosinya sementara ia duduk di sampingnya, mendengarkan isakan si gadis. Desau sungai yang lembut menenangkannya dari perasaan sesak ketika rekan yang paling dipercaya tewas. Dia sudah mengalaminya berulang kali, bahkan lebih dari sekali dia sendiri yang harus membunuh rekannya. Cahaya bulan berkilauan di atas permukaan air sungai yang mengalir. Awan-awan gelap menyingkir hingga bulan sepenuhnya tampak. Malam ini bulan tampak lebih indah.

Aku kehilangan mereka lagi, batin Martin. Kapan kutukan ini akan berakhir?

Setelah kehilangan banyak sekali rekan dalam waktu satu tahun, dia benar-benar ingin sekali mempertahankan rekan yang sama dalam waktu yang lama. Setidaknya, sampai ia mengenal mereka dengan baik dan bisa menganggap mereka sebagai teman. Kemudian ia melirik Violet yang sekarang menyembunyikan wajah di antara kedua lutut. Gadis itu telah berubah banyak dalam satu tahun. Setelah kehilangan dirinya, Martin merasa tidak ingin ia menghilang lagi. Dia ingin Violet tetap bersamanya. Dia ingin hidup bersamanya lebih lama.

Martin berdiri, satu tangan terjulur, menunggu gadis itu untuk mengambilnya. Violet bangun dengan bantuannya, kemudian menghapus bekas air mata di wajahnya. Keduanya berjalan di pinggiran sungai. Untuk berpa lama tak satu pun dari mereka tahu. Tiba-tiba langit di ufuk timur berwarna cerah sedikit demi sedikit sampai akhirnya matahri menampakkan dirinya. Udara pagi yang segar dihirup Violet dalam-dalam untuk menenangkan diri. Perjalanan ke kota terdekat masih sangat jauh. Butuh beberapa hari jika berjalan kaki. Martin masih menyembunyikan tujuan utamanya dalam perjalanan ini. Kenapa dia ingin Violet ikut bersamanya dan ke mana dia akan membawa gadis itu pergi.

Waktu yang mereka habiskan di hutan tidak menyulitkan. Beruntung tubuh mereka berbeda dengan manusia pada umumnya, jadi keduanya bisa bertahan tanpa makan dan minum untuk waktu yang lama dan tidak butuh tidur seperti manusia normal. Namun pada sore hari menjelang malam keduanya akan berhenti dan membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Tidak adanya orang-orang bersenjata yang datang ketika mereka menyalakan api merupakan pertanda baik. Itu artinya tidak ada orang lain selain mereka di hutan. Situasi cukup aman.

Ketika barisan pepohonan semakin jarang dan langit biru lebih terlihat karena tidak adanya kanopi dedaunan yang manghalangi, Violet melihat bangunan-bangunan kumuh di tepi kota. Tampaknya daerah itu tidak tersentuh oleh orang-orang atau sudah lama ditinggalkan. Keduanya berada di atas sebuah bukit yang menghadap langsung ke kota tersebut. Benar-benar kota yang telah mati.

Taken DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang