Part 22 : Masak

9.4K 320 44
                                    

Tak ada kedamaian yang lebih indah dari sebuah kebersamaan. Ini yang kurasakan. Bertahun-tahun aku kehilangan satu sisi kasih sayang yang tak pernah kudapat dari seorang ayah. Tanpanya, aku bagai burung tanpa sayap. Tak dapat terbang. Tak mampu mengarungi angkasa. Terkungkung dalam kelabilan emosi jiwa.

''Divo ... apa yang sedang kamu lakukan?''

''Masak.''

Bang Sam menghampiri aku yang sedang sibuk menyiapkan bumbu masakan di dapur.

''Kamu bisa masak?''

''Sedikit.''

''Waw ... keren!''

''Ibu pulang kerja selalu larut malam. Dan aku terbiasa dengan menyiapkan makan malamku sendiri.''

''Hebat ... kamu terbiasa mandiri, Divo.''

''Hehehe ... bukan terbiasa, tapi terpaksa dibiasakan.'' Aku meringis. Bang Sam manggut-manggut.

''Ngomong-ngomong kamu mau masak apa malam ini?''

''Bikin cap cay dan bakwan jagung.''

''O, ya? Apa ada yang bisa saya bantu?''

''Tidak usah ... Abang tunggu aja di ruang keluarga.''

''Aku ingin belajar masak dari kamu, Vo ... biar nanti suatu saat, saya bisa masak makanan saya sendiri.''

''Hehehe ... Abang bisa aja.''

''Oke, kalau gitu mari kita masak bersama!''

Aku dan Bang Sam bahu membahu mengelola makanan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku dan Bang Sam bahu membahu mengelola makanan ini. Mengocok telor. Memotong sayur mayur. Mengulek bumbu. Membuat adonan. Menumis dan menggoreng hingga semuanya matang. Proses aktivitas memasak malam ini benar-benar berbeda. Bersama Bang Sam ada bumbu canda tawa yang turut menyertainya. Kami tidak merasakan sedang memasak, tapi kami seolah sedang bermain-main membuat makanan.

Bang Sam kadang jahil juga. Saat dia membuat adonan bakwan, dengan nakalnya ia menaburkan tepung ke wajahku. Hingga wajahku belepotan tepung seperti memakai bedak tabur. Lucu dan menyenangkan. Walau hasil masakan kami rasanya cuma standar, namun memberikan kesan kegiatan masak-memasak yang mendalam.

''Uhhh ... akhirnya selesai juga!'' gerutu Bang Sam sembari membawa tumpukan bakwan hasil gorengannya ke meja makan. ''Ternyata memasak itu repot ya, berkeringat ... harus ekstra sabar. Walaupun panas tetap harus ditunggu hingga matang.''

''Ya, begitulah ... hehehe ...'' timpalku seraya meletakan sepiring capcay di atas meja.

''Well ... sekarang kita makan! Saya sudah tidak sabar untuk mencicipi masakan kamu, Vo ...''

''Bukan aku, Bang, tapi ... kita!''

''Hahaha ...'' Bang Sam tertawa, aku juga.

Aku dan Bang Sam duduk berhadapan. Menghadap makanan hasil masakan kami yang terbentang di atas meja. Aromanya sungguh menggugah gairah. Ingin segera aku dan Bang Sam menyantapnya.

''Divo ... apa tidak sebaiknya, kita menunggu ibumu pulang? Agar kita bisa makan bersama-sama.''

''Ibu pulang larut malam, Bang ... masakannya keburu dingin bila kita menunggu kepulangan Ibu.''

''Iya, seeh ... terus gimana, apa kita makan tanpa Ibumu?''

''Aku sudah terbiasa, Bang ...''

''Ohhh ...''

Aku dan Bang Sam jadi terdiam. Suasana mendadak jadi kaku. Dingin seperti di kutub.

''Jika ... Abang ingin menunggu kepulangan Ibu. Baiklah, aku akan turut sabar menunggunya.'' Aku bangkit dari tempat dudukku.

''Tidak, Vo ... saya tahu kamu sudah lapar. Saya mengerti ...'' timpal Bang Sam sembari menangkap tanganku dan menahannya agar aku tidak beranjak pergi meninggalkan meja makan.

''Kita makan sekarang, meski tanpa Ibumu,'' imbuh Bang Sam.

Aku duduk kembali. Kemudian tanpa banyak basa-basi lagi, kami pun segera menyantap hidangan masakan kami. Lahap. Terasa nikmat. Hingga tak bersisa. Alhamdulillah.

Usai makan, aku beres-beres meja makan. Mencuci peralatan makan hingga bersih kembali. Kemudian aku masuk ke kamarku. Membuka buku pelajaran. Dan aku belajar.

Tiga puluh menit kemudian ...

Tok ... Tok ... Tok!!!

Pintu kamarku terketuk.

''Masuk!'' titahku dan sejurus berikutnya kepala Bang Sam nongol dari balik pintu.

''Masuk!'' titahku dan sejurus berikutnya kepala Bang Sam nongol dari balik pintu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Kau sedang belajar, Vo?''

''Iya ...''

''Maaf, saya jadi mengganggu. Kalau begitu lanjutkan!''

''Eh ... tidak, tidak apa-apa ... aku sudah selesai.''

''Saya cuma mau minta maaf, atas ucapan saya di meja makan tadi ...''

''Abang tidak salah, Abang benar ... seharusnya kita memang harus menunggu kepulangan Ibu.''

''Divo ...'' Bang Sam mendekati aku, ''dalam masalah ini sebenarnya tidak ada yang salah atau pun yang benar. Saya meminta maaf, karena saya khawatir ucapan saya menyinggungmu. Divo, saya sangat mengerti dengan kondisimu. Saya justru sangat prihatin dengan dirimu, Vo ... Saya yakin kau sangat kesepian ...''

Mendengar ucapan Bang Sam, aku jadi tertunduk. Dia benar aku memang selalu dalam rasa kesepian. Setiap hari aku harus terbiasa dalam kesendirian. Tanpa teman, tanpa keluarga. Menyedihkan dan membuatku merana. Namun aku tidak pernah menganggapnya itu sebuah masalah. Aku tetap happy walaupun dalam rasa sepi.

''Mulai sekarang, saya akan menemanimu ... menjadi sahabatmu ...'' Bang Sam melingkarkan tangannya di bahuku, ''kamu mau kan bersahabat dengan saya, Divo?'' lanjutnya berbisik di kupingku.

Sungguh, perlakuannya ini membuatku jadi terharu. Mataku jadi berkaca-kaca. Aku mendongak ke arahnya. Ada senyuman malaikat di wajah tampannya. Matanya bersinar memancarkan keteduhan yang penuh kedamaian.

Aku mengangguk perlahan menandakan bahwa aku bersedia bersahabat dengan dia. Bang Sam, Ayah Tiriku, Idolaku.

''Oke, sekarang lanjutkan belajarmu, Nak!'' Bang Sam mengacak-ngacak rambutku sebelum dia berlalu meninggalkan kamarku.

Ayah Tiriku IdolakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang