Part 53 : Wasiat

6.9K 298 84
                                    

Kematian dan kelahiran merupakan rahasia illahi. Tak dapat diramal dan tak dapat diprediksi. Namun, semua itu pasti akan terjadi. Kapan saja. Di mana saja. Kita harus selalu siap.

''Innalillahi wainaillaihi rojiun ... kami turut berbela sungkawa, Vo,'' Poo mewakili teman-temannya. Memberikan dukungan moral terhadapku.

''Yang sabar, ya!'' Avan menambahi. Dia membelai bahuku dengan penuh rasa pershabatan. Lembut dan menenangkan. Eross juga.

Hanya Hua Wei yang berani memelukku. Menguatkanku. Namun, dengan pelan aku melepas pelukannya.

''Semoga arwah ibumu diterima di sisi-Nya. Diampuni dosa-dosanya. Dan seluruh keluarganya diberi ketabahan!'' lanjut Poo dengan kekhusukan.

''Aamiin!'' Avan, Eross, Berry, dan Huawei menimpali.

''Terima kasih, teman-teman ...'' ujarku sembari menatap wajah mereka satu per satu. Pandanganku nanar. Redup. Hingga tak terasa aku melelehkan butiran air mata. Aku menangis lagi.

Poo dan Huawei mendekatiku. Mereka tanpa segan mendekap tubuhku. Memelukku erat. Menghapus air mataku. Avan dan Eross turut menghampiriku. Mereka juga memelukku. Kami berlima jadi berpelukan. Saling memberikan dukungan. Saling memberikan kekuatan. Kami seperti teletabies dan mataharinya.

__***__

Seminggu setelah hari pemakaman jenazah ibu. Bang Sam membawa bayinya ke rumah orang tuanya. Setelah sebelumnya mendapat perawatan secara intensif di rumah sakit. Sungguh, seorang bayi laki-laki yang lucu dan juga tampan. Namun, ia bayi yang malang karena harus kehilangan ibunya sesaat setelah dilahirkan. Belum sempat ia merasakan dekapan dan kasih sayang dari seorang ibu. __Maafkan, aku ... ini semua gara-gara aku. Karena kecerobohanku kau menjadi anak piatu. Kuharap, kelak kau tidak akan pernah menyalahkanku. Adikku sayang, adikku malang.

Bang Sam menamai anaknya dengan sebutan Lanang Gigih. Disingkat LG. Kami memanggilnya dengan Baby El. Wajahnya imut. Bulat. Pipinya kemerahan. Bibirnya mungil. Hidungnya mancung. Matanya bundar. Bola matanya bening seperti kristal. Dia memiliki wajah perpaduan wajah Ibu dan Bang Sam. Tampan sekaligus manis. Menggemaskan. Namun, sayang aku tidak bisa menjumpainya setiap hari dan setiap saat. Karena Baby El dirawat sepenuhnya oleh keluarga Bang Sam dan tinggal jauh di sana.

 Karena Baby El dirawat sepenuhnya oleh keluarga Bang Sam dan tinggal jauh di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baby LG

Semenjak kematian ibu, hidupku makin dilanda rasa sepi dan kesedihan. Tak ada siapa-siapa lagi di rumah ini. Bang Sam juga jarang pulang. Dia lebih sering pulang ke rumah orang tuanya. Kami jadi jarang bertemu. Setiap hari kerjaanku melamun dan merenung. Tak bergairah menghadapi kehidupan ini. Rasanya aku ingin menyusul ibu ke alam baka. Akan tetapi, aku tidak mempunyai keberanian diri untuk mengakhiri hidupku. Walaupun pikiranku kacau aku masih punya sedikit rasa keimanan. Dan keimanan inilah yang membuatku tegar dalam menghadapi kemelut kehidupanku.

Apalagi sebentar lagi aku akan menghadapi Ujian Nasional. Meskipun aku tidak mempunyai harapan bisa melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, aku tetap berusaha mengejar nilai yang terbaik pada ujian tersebut. Aku tak mau nasibku yang kurang beruntung ini mempengaruhi prestasi di sekolah. Walau berat aku akan mencoba menjadi pribadi yang kuat. Aku sudah terbiasa hidup mandiri. Dan aku akan selalu sabar menjalani kenyataan ini.

Bagaimana dengan kehidupanku sehari-hari? Selain meninggalkan sebuah rumah, ibu masih mewariskan aku sebuah konter pulsa. Meskipun kini dikelola sepenuhnya oleh Mbak Sus, tetapi hasilnya lumayan dan cukup untuk biaya hidupku sehari-hari. Jadi aku tidak perlu pusing memikirkan keperluan makan tiap hari.

Suatu hari, saat aku sedang membereskan kamar bekas ibu. Aku menemukan sebuah buku tabungan atas namaku di dalam laci. Tentu saja, aku sangat terkejut karena aku sebelumnya tidak pernah merasa menabung di bank yang tercantum di buku tabungan tersebut. Aku makin terkejut saat membuka isi buku tabungan itu yang jumlahnya membuat keningku mengkerut. Kaget dan tak percaya. Ada 9 digit angka. Banyak sekali, bukan? Darimana uang sebanyak itu? Mengapa selama ini ibu merahasiakannya dariku?

Aku mengorek-orek isi laci. Aku menemukan surat tanah rumah ini dan beberapa lembar surat berharga lainnya. Di antara surat-surat itu aku juga mendapati sebuah surat beramplop coklat yang bertuliskan untuk anakku, Divo Noviandro. Mungkinkah ini surat wasiat dari ibuku? Bagaimana mungkin? Bukankah beliau meninggal secara mendadak, mana mungkin beliau sempat membuat surat wasiat. Aku jadi penasaran.

Aku segera membuka amplop tersebut dan membaca isinya perlahan-lahan.

Anakku yang tersayang, Divo ...

__Membaca pembuka surat saja, aku sudah berkaca-kaca. Tubuhku langsung gemetaran. Aku seperti sedang berhadapan langsung dengan ibuku.

Ibu menuliskan surat ini karena ada keresahan dalam hati ibu, Nak. Ibu khawatir tak sempat mengungkapkannya secara langsung. Maka, kata per kata ibu menyusun surat ini agar kelak kau bisa membacanya bila seandainya Ibu telah tiada.

__Sungguh, tak kuasa lagi aku membendung air mata ini. Aku membiarkan butiran air mata ini berderai membasahi kedua pipiku.

Selama ini Ibu telah membohongimu, Nak. Ayahmu yang sebenarnya masih hidup.

__''Hah ... ayahku masih hidup?'' Aku menyeka butiran air mataku.

Beliau tinggal di suatu tempat bersama keluarganya. Maafkan Ibu, karena tidak memberitahukanmu. Ibu terpaksa merahasiakan ini dan menunggu saat yang tepat untuk menceritakan yang sebenarnya kepada kamu. Yaitu saat kamu sudah dewasa. Saat kau sudah berpikir dengan pemikiran yang lebih bijak. Saat kau bisa membedakan mana baik dan mana buruk. Tidak gegabah. Tidak ceroboh.

Divo, anakku ... jangan pernah membenci ayahmu, meskipun beliau tak pernah menjengukmu. Tak pernah memelukmu. Tak pernah menggendongmu. Tak pernah memberi nasihat kepadamu.

__Kembali aku menangis. Mewek tersedu-sedu. Benar-benar cengeng. Gampang sekali menumpahan air mata. Seperti air hujan yang turun dari langit. Membleber.

Meskipun beliau tak melakukan itu semua. Beliau adalah orang yang masih mau bertanggung jawab. Setiap bulan beliau masih mengirimkan uang buatmu. Namun uang itu sengaja ibu simpan sebagai tabungan pendidikan atas namamu, Nak ...

Ibu berharap kau bisa memanfaatkan uang tersebut dengan sebaik-baiknya.

Divo, anakku ... sekali lagi maafkanlah ibu. Jangan pernah menaruh kebencian kepada siapa pun. Karena kebencian itu seperti batang korek api. Ia akan membakar dan menggerogoti dirimu sendiri. Tebarkan cinta dan rasa kasih sayang kepada apa pun dan siapa pun. Jadilah anak kebanggaan buat Ibu.

Divo Noviandro, Ibu sayang sama kamu. Kecup manja dari ibumu. Omidah.

__Tak ada yang aku lakukan, selain terbengong dan menangis. Isi surat tulisan ibu ini benar-benar menyayat hatiku. Seperti ada irisan bawang bombay yang menebarkan perih di mataku.

''Aku juga sayang Ibu.'' Aku mengecup kertas surat ini dan mendekapkannya di dadaku.

Ayah Tiriku IdolakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang