Part 48 : Insomnia

7.2K 267 55
                                    

Pagi baru menetas dari cangkangnya. Udara pun masih terasa dingin menusuk tulang. Kabut tipis bertebaran. Melukis alam desa yang masih perawan dari jamahan polutan. Dengan perasaan hati yang berkelakar. Seperti bunga melati yang baru mekar. Semerbak indah nan wangi menebar. Aku dan lelaki idolaku, Ayah Tiriku, Bang Sam pergi ke pasar.

Bersama motor kesayangannya, kami bergerak memecah dingin. Meluncur bagai angin. Menjelajahi jalanan basah karena hujan kemarin. Hati-hati tapi tangkas. Pandai berkelit saat nge-gas. Dia buas. Bringas. Seperti batuan cadas. Keras. Namun, tetap selaras dengan pemikirannya yang cerdas. Dialah Bang Sam. Lelaki berahang tegas yang penuh welas. Memberi kasih tanpa mengharap balas. Saat ia berpikiran waras. Tentunya. Karena terkadang ia menunjukkan sisi lain yang membuatku menahan napas. Waswas.

Setelah berjibaku dengan berbagai unsur alam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah berjibaku dengan berbagai unsur alam. Menantang sengatan matahari. Menendang udara pagi. Menyapa makhluk-makhluk dengan wajah berseri. Aku dan Bang Sam akhirnya tiba di tempat interaksi penjual dan pembeli. Melakukan ijab qobul saat bertransaksi. Sesuai dengan harga yang telah disepakati. Hingga mengurangi rasa sakit hati. Akibat permainan harga yang kurang manusiawi.

Tanpa banyak berpikir, kami berdua langsung melenggang ke kios buah. Untuk berburu bahan-bahan pembuatan rujak. Nanas, bengkoang, ketimun, dan kawan-kawannya. Lengkaplah, dari buah yang rasanya manis, masam, asam, sepet dan sebagainya. Seperti nano-nano. Tak hanya membeli buah-buahan. Kami juga membeli bumbunya. Garam, terasi, cabe dan masih banyak lagi yang lainnya.

Bang Sam menenteng dua keranjang belanjaan. Di tangan kanan dan kirinya. Aku juga. Dan ternyata belanja di pasar tradisonal itu sangat melelahkan. Berdesak-desakan dengan ratusan orang yang aromanya bermacam-macam. Harus pandai bernegosiasi. Harus sabar saat diserebot emak-emak. Dan harus kuat di suasana yang lembab, becek dan bau.

‘’Hehehe ...’’ Bang Sam tersenyum menatapku dengan pandangan mata yang sayu. Aku tahu dia juga pasti lelah dan lesu. Wajah tampannya jadi tampak lusuh. Tertutup banyak peluh.

‘’Kenapa Abang menatapku seperti itu?’’

‘’Karena kau lucu, Vo ...’’

‘’Apanya yang lucu?’’

‘’Ya ... lucu aja ... saya tidak menyangka kalau kau ternyata pintar berbelanja. Pandai tawar menawar, mahir berargumen dengan ibu-ibu penjual di pasar. Tidak sia-sia saya mengajak kamu.’’

‘’Hehehe ... aku sering belanja bareng Ibu di pasar, Bang.’’

‘’O, ya ... pantesan.’’

‘’Iya, Bang ... hehehe ... tapi aku lelah, Bang ...’’ gumanku sambil menyeka keringat yang mengucur di pelipisku dengan ujung lengan bajuku.

‘’Ya ... tenang aja, habis ini kita istirahat. Kita cari warung buat melepas lelah. Oke!’’

‘’Oke!’’ Aku menyunggingkan senyuman. Menunjukkan gigi-gigiku yang putih cemerlang. Seperti model iklan pasta gigi. Cling! Dan Bang Sam pun tergoda. Manja.

Ayah Tiriku IdolakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang