Part 54 : Pengumuman

6.5K 301 67
                                    

KREETTT!!!

Pintu kamar Ibu terbuka. Ada seorang laki-laki nongol  dari balik pintu itu. Dia Bang Sam. Ayah tiriku.

‘’Kau ... ada di sini?’’ celetuk Bang Sam.

‘’Lagi berbenah. Abang ... kau pulang?’’

‘’Iya ...’’

‘’Udah makan? Bila belum, aku akan siapkan makanan buat Abang.’’

‘’Tidak usah, Vo ... saya pulang hanya mau mengambil barang-barang saya.’’

‘’Seluruhnya?’’

Bang Sam mengangguk pelan, tetapi tegas.

‘’Kenapa?’’

Laki-laki berkumis tipis ini terdiam.

‘’Apa Abang tidak akan pernah kembali ke sini?’’

‘’Terlalu banyak kenangan bersama ibumu di sini, Vo ... saya ingin melupakan semuanya.’’

‘’Apa Abang akan melupakanku juga?’’

Bang Sam hanya menghela napas dalam-dalam.

‘’Meskipun di antara kita tak ada hubungan keluarga lagi. Masih sudikah Abang menganggapku sebagai ...?’’

Laki-laki gagah tampan ini mendekatiku, lalu mendekapku. Memelukku dengan erat dan mengusap-usap lembut kepalaku.

‘’Tentu ... kau akan selalu jadi anakku, Vo.’’ Bang Sam membelai rambutku. Aku jadi terharu. Tak bisa menahan tangis lagi. Kusandarkan kepalaku di dada bidang Bang Sam dan larut ke dalam dekapan tubuhnya yang hangat serta penuh kedamaian.

‘’Saya sayang kamu ...’’ Bang Sam melepaskan pelukannya dari tubuhku. Dia mengecup keningku sebelum tangannya sigap mengemasi barang-barangnya.

Aku terpaku. Hanya menonton Bang Sam yang sibuk memasukan barang-barangnya ke koper.

‘’Jaga dirimu baik-baik, Vo ... jangan khawatir, saya akan sering-sering mengunjungimu.’’

Aku masih diam terpaku. Seperti patung manekin di toko baju. Tak tahu harus bersikap bagaimana. Bingung dan kaku.

Sebelum pergi, Bang Sam mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sangat dekat. Hanya beberapa senti saja. Kemudian tanpa terduga, dia mengecup bibirku. Mencium dan melumatnya. Untuk sekian detik. Ciuman singkat yang hangat, lembut dan mesra sebagai ciuman perpisahan.

Aku cuma bisa menititikan butir-butir air mata mengiringi kepergiannya. Aku terus memperhatikan tubuhnya hingga bayangannya hilang tertelan kegelapan malam.

__***__

Hari Ujian Nasional untuk tingkat SMA/SMK tiba.

Aku dan seluruh siswa SMA/SMK di Indonesia sibuk menghadapi soal-soal yang cukup menguras pikiran. Butuh fokus. Ketenangan. Strategi. Untuk mengerjakannya, agar mendapatkan hasil ujian yang memuaskan. Hari-hariku pada masa ini hanya berkutat pada buku pelajaran yang diujikan. Cukup melelahkan juga. Aku butuh istirahat yang cukup dan refreshing saat ujian selesai nanti. Biar tidak stress. Tidak mudah pastinya, mengingat aku habis kehilangan orang yang paling aku sayangi untuk selama-lamanya. Ibuku. Belum kelar menghadapi ujian hidup yang berat, aku dihadapkan lagi dengan ujian sekolah. Uh ... benar-benar amazing. Membuat kepalaku cekot-cekot. Terasa mau copot. Lebih enakan crot!

Tiga Minggu setelah Ujian Nasional.

Saat hari pengumuman kelulusan siswa, setelah belajar selama 3 tahun di sekolah tingkat menengah. Para orang tua murid datang menyaksikan dan mengambil hasil pengumaman itu. Semua wajah-wajah orang itu. Baik orang tua dan anaknya menunjukan ekspresi yang ceria. Penuh suka cita. Kecuali aku. Aku datang sendiri tanpa didampingi orang tua atau pun wali. Bang Sam belum hadir. Aku tidak tahu dia di mana.

‘’Divo ...!’’ teriak Si Mata Empat Hua Wei di tengah hiruk pikuk perkumpulan orang yang bersiliweran. Dia berlari-lari sepanjang koridor deretan kelas XII. Seperti roket melesat. Angin kalah cepat dengan ayunan kakinya. Ia mampu menerobos kerumunan orang-orang. Tak seorang pun mampu mencegahnya. Semuanya menyingkir memberi jalan.

‘’Aku lulus, Vo ... aku mendapatkan nilai yang cukup baik!’’ pekik cowok berkulit putih ini girang tepat di depanku. Tangannya menggoyang-goyangkan tubuhku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

‘’Itu semua karena kamu, Vo. Teman sekaligus guru terbaikku!’’

‘’Syukurlah, kalau begitu, Wei ... aku  turut bergembira. Congratulation!’’

‘’O, ya ... bagaimana dengan dirimu, apa kau sudah mengetahui hasil kelulusanmu? Kamu lulus juga, ‘kan?’’

‘’Aku tidak tahu, Wei ... hasilnya belum diambil.’’

‘’Ayah tirimu belum datang?’’

‘’Belum ...’’

‘’O ... kuharap dia akan segera datang.’’

‘’Iya, kuharap juga begitu.’’

Aku dan Hua Wei jadi terdiam. Terpekur dengan arah pandangan mata kami masing-masing.

‘’Wei ... kemari, Cah!’’ seru seseorang tiba-tiba memanggil Hua Wei.

‘’Iya!’’ sahut Wei langsung.

‘’Itu orang tuaku, Vo,’’ ucap Hua Wei, ‘’sepertinya mereka mengajakku berfoto bersama. Tunggu ya, aku akan menemui mereka terlebih dulu,’’ lanjutnya menjelaskan.

Aku hanya mengangguk dan memberikan senyuman tipis. Selanjutnya Hua Wei bergerak cepat menghampiri kedua orang tuanya. Meninggalkan aku sendiri di sini. Masih memandang keceriaan wajah teman-teman lain bersama orang tuanya masing-masing.

‘’Bang Sam ... di manakah dirimu ...’’ gumanku.

Aku tidak mau menangis. Aku sudah bosan mengeluarkan air mata. Air mata ini sudah kering terkuras di hari-hari yang lalu. Aku harus kuat dan tegar. Sekuat macan, setegar batu karang.

‘’Poo ...’’ sebuah tepukan tangan gempal di bahuku.  Cukup mengagetkan. Membuyarkan pikiranku dari lamunan. Apalagi dia salah menyebutkan namaku.

Perlahan aku mendongak ke arah pemilik tangan itu. Seorang laki-laki setengah baya. Aku pernah melihat rupanya, tetapi aku lupa di mana.

‘’E ... maaf, saya pikir kamu anakku, Poo ... ternyata bukan, hehehe ...’’ ujar laki-laki ini buru-buru setelah melihat wajahku.

Aku hanya tersenyum sambil menatapnya lekat-lekat.

‘’Subhanallah, perawakanmu hampir mirip dengan Poo.’’

‘’Jadi Om ini ayahnya Poo, ya?’’ ujarku ragu-ragu.

Belum sempat laki-laki di hadapanku ini menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba ada pekikan suara serak-serak basah yang keluar dari kerumuman. Memecah percakapan kami.

‘’Papah!’’ Ternyata itu suara Poo yang sedang berlari tergopoh-gopoh ke arah kami.

‘’Aduh, kemana aja kamu, Nak!’’ timpal laki-laki itu, ‘’Papah dari tadi mencarimu,’’ imbuhnya sembari menyambut kedatangan Poo, lalu mengusap pipinya.

‘’Habis ke toilet, Pah ... pipis.,’’ jawab Poo.

‘’Oh ...’’ Laki-laki yang kuperkirakan berusia 40-an tahun itu mengangguk-ngangguk.

‘’Iya, Pah ... O, ya ... gimana hasil pengumumannya, Pah?’’

‘’Selamat, Nak ... kamu lulus!’’

‘’Alhamdulillah!’’ Ayah dan anaknya itu berpelukan. Mengekspresikan rasa kebahagiaan yang mendalam.

Aku hanya memandang mereka dengan mata yang berkaca-kaca. Iri. Ingin merasakan juga seperti mereka.

Ayah Tiriku IdolakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang