Part 28 : Air

10.8K 301 29
                                    

Aku tidak tahu seberapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun, sekujur tubuhku bermandikan keringat. Bulirnya membasahi pakaianku. Gerah, lepek dan tak nyaman. Aku segera menghempas selimut yang membungkus tubuh dan beranjak dari tempat tidurku. Aku merasa badanku sudah lebih enakan. Suhu tubuhku sepertinya sudah normal kembali, tetapi aku masih terasa lemah. Tak bergairah. Lemas dan lesu.

Aku melongok jam yang tergantung di dinding

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melongok jam yang tergantung di dinding. Sudah menunjukan angka 9. Hari ternyata sudah mulai merangkak siang. Matahari pun perlahan bergerak ke puncak kekuasaan. Menyumbang energi panas untuk kehidupan. Hidup untuk makhluk-makhluk di bumi. Termasuk diriku.

''Divo ... kau sudah bangun? Apa kau sudah baikan?''

Di depan pintu Bang Sam memergoki dan langsung mengintrogasiku.

''Iya, Bang. Aku merasa lebih baik sekarang.''

''Bila kau masih terasa lemas jangan memaksakan diri dulu, Vo ...'' Bang Sam menghampiriku. Memperhatikan wajahku dengan seksama. Kemudian ia mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap keringat yang masih mengucur di pelipis serta leherku. Benar-benar telaten. Belum pernah aku diperlakukan sebaik ini dari seorang laki-laki dewasa seperti dia.

''Badanmu memang sudah tidak panas lagi, Vo ... tapi bukan berarti kamu sudah sembuh. Kamu masih perlu banyak istirahat.'' Bang Sam menatapku dengan tatapan sendu. Cahaya kasih terpancar dari kedua bola matanya. Meneduhkan dan membuatku terseret pada rasa aneh yang membawaku pada jurang kepedihan. __Andai dia bukan ayah tiriku.

''Berhentilah kau melakukan aku begini, Bang ...'' Mataku berkaca-kaca. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak ini. Sedih. Aku mengasihani diri sendiri.

''Kenapa?''

''Kebaikan dan perhatianmu membuatku semakin tersiksa ...''

''Hah ... ada apa dengan dirimu, Vo?'' Mata Bang Sam terbelalak, ''apa kau tidak suka dengan sikap perlakuan saya terhadapmu?'' Mata beningnya menekuri setiap inci tubuhku.

Aku menitikan air mata. Entahlah, tanpa aku sadari air itu mengalir deras seperti air hujan yang membasahi kaca.

''Lho ... kok kamu malah menangis ...'' Bang Sam menyeka air mataku dengan telapak tangannya. Dia bisa menghapus butiran air mata itu, tapi tidak lara hatiku.

''Anak cowok tak boleh cengeng, Vo ...'' Sorotan mata tajamnya mengalahkan nyaliku. Aku tak sanggup menatapnya lagi.

Aku malah terisak. Tersedu-sedu. Bang Sam menarik tubuhku dan memelukku dengan sangat erat. Dan pelukan hangatnya ini sungguh membuatku semakin terjerat. Aku seolah tertusuk ribuan duri. Tubuhku seakan terperosot ke dalam lembah penyiksaan batin yang pedih. Tak terluka. Tak berdarah, tapi sakitnya luar biasa.

 Tak berdarah, tapi sakitnya luar biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Divo ... aku mendengar banyak hal tentangmu dari Ibumu. Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Mungkin sejak kecil kau merindukan belaian seorang ayah ...''

Aku tak bergeming. Aku hanya menyandarkan kepalaku pada dadanya yang bidang. Merasakan denyutan jantungnya yang keras. Menghirup aroma wangi tubuhnya yang jantan dan mampu membuatku terlena.__Mengapa? Mengapa harus dia yang jadi ayah tiriku?

''Divo ... bila kau mempunyai masalah, bicaralah pada saya ...'' Bang Sam mengusap lembut kepalaku. Seperti seorang ayah yang memanjakan anaknya. Sungguh, membuat perasaanku semakin perih.

__Masalahku ... aku jatuh cinta padamu, Bang. Dan aku tak sanggup untuk berterus terang. Sampai kapan pun aku tak akan pernah mengungkapkannya. Biarlah ini menjadi rahasia dalam hidupku. Rahasia abadi yang tak mungkin terpecahkan. Oleh apa pun dan siapa pun kecuali Tuhan.

''O, ya ... hari ini kamu mau minta makan apa? Biar nanti saya yang akan bantu mewujudkan permintaanmu.''

''Emang Abang bisa masak?''

''Tidak ...''

''Terus ...''

''Saya tidak bilang, 'kan kalau saya akan memasakan makanan buat kamu. Saya cuma bilang mau bantu mewujudkannya.''

''Jadi?''

''Saya akan belikan di warung ...''

''Hehehehe ...''

Aku tertawa, Bang Sam juga.

''Divo ... saya senang melihat kamu tersenyum dan bergembira begini.''

Aku jadi tertunduk malu.

''Berjanjilah kepada saya, jangan pernah memperlihatkan air matamu di depan saya.''

''Hehehe ... iya, aku janji.''

''Janji apa?''

''Janji tidak menangis lagi.''

''Bagus ...'' Bang Sam mencubit daguku dengan manja, ''jadi anak cowok itu harus tegar, setegar batu karang. Pantang meneteskan air mata ... kamu hanya boleh meneteskan air yang lain ...''

''Air yang lain itu apa?''

''Keringat ...''

''Terus?''

''Air kencing.''

''Terus?''

''Air mani.''

''Hahahaha ...'' Aku dan Bang Sam jadi ngakak.

Ayah Tiriku IdolakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang