Satu setengah tahun yang lalu, ketika terakhir kali berada di bumi Perantauan kota Bekasi, hawa perjuangan itu masih begitu melekat di ingatanku. Dimana aku harus ekstra keras bertahan hidup di tengah hiruk pikuk suasana tanah rantau. Jika kamu pernah merasakan hidup menghambakan diri di bawah kaki bumi rantau pasti tau bagaimana rasanya tak diberi belas kasihan sang tuan. Maksudku kejamnya tanah rantau.
Masih berteduh dibawah langit yang sama. Dan menurutku hanya berbeda perdaban saja. Dimana aku telah mengukirkan banyak cerita hidup disana. Mengatur keseimbangan hidup dan menstabilkan diri tentunya. Layaknya larutan gula di mata pelajaran kimia, kehidupanku pun sempat menemui titik jenuh. Dihantam tekanan dan terus saja dihadapkan dengan problematika yang aku sempat tak menemukan solusinya. Oohh tidak, ini sudah terlampau batas kesabaranku pada waktu itu. Aku befikir harus segera mengakhirinya.
Nyatanya aku tak hanya memikirkan, tapi juga merealisasikan. Aku sempat bertahajud dan beristighoroh di sepertiga malam. Dan setelah memantapkan diri aku pun memutuskan pergi. Aku memang sempat ragu. Perihal keraguanku bernyawa setengah perjuangan yang belum terselesaikan. Lalu bagaimana pendapatmu ketika kamu menjalani sesuatu atas dasar setengah terpaksa?? Bukankah hanya akan menyakiti perasaanmu saja??
Entah sudah berapa banyak senja yang ku saksikan dengan air mata keterpaksaan disana. Nyatanya mata jingga bermuram durja. Aku sepi sendiri. Sedang manusia di sekitarku menjalani hidup tanpa beban derita. Aku iri dengan mereka. "Apa ini yang dinamakan penjara tanpa jeruji?". Meskipun sempat berat aku melangkahkan kaki dari tempat itu. Sebab bagian dari diriku, ceritaku, harapanku, cita-cita yang sempat ku ukirkan, separuh jiwa dan nyawaku masih tertinggal. Aku harus meninggalkan segala yang sudah ku bangun disana. Tapi aku tetap harus pergi. Pintu perjuangan baruku sudah terbuka. Tentu saja di tempat yang berbeda.
02 Januari 2017. Bersama kawan karibku (Bintari Agustina), aku kembali ke pangkuan bumi kelahiran. Bicara temanku satu ini, ia juga pengagum senja dan penggila jingga. Ketika aku menuliskan ini, sudah 4 tahun aku mengenalnya (2014-2018). Dan akhirnya setelah hampir satu tahun tak berjumpa dengannya (2016-2017), aku kembali mampu bercerita banyak hal dengan dia. Aku rindu perihal cerita-cerita konyol yang terlontar dari bibirnya yang selalu berakhir tawa. Dan hari itu, aku kembali menemukan sesuatu yang tak pernah aku dapatkan dimanapun selain darinya. Bahagia yang begitu sederhana. Tawa tulus tiada kesan terpaksa dan tanpa beban derita didalamnya. (Meskipun sering kali itu hanya pura-pura saja sebenarnya).
Kami duduk berdampingan. Memandang senja dan menuliskan cerita. Bersamanya hari itu, aku melepas segala tekanan hidup yang sempat ku tanggung sebelumnya. Melepas rindu dan membuka lembaran baru. Sembari menunggu bus yang akan kami tumpangi datang dan menelan semua penumpang. "Bye Bekasi, See You Next Time". Begitu status yang tercatat di Social Media. Dan senja menjadi saksi bahwa aku pergi dengan sebuah kata rela pada akhirnya.
Meninggalkan sesuatu yang baik untuk sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang menjadi tujuan. Menurutku bukan sebuah kesalahan. Ini bukan perihal konsistensi. Hanya saja tentang bagaimana seharusnya menentukan pilihan hidup dan fokus terhadap tujuan. Meskipun kadang-kadang egois menurut cara pandang orang, tapi masa depan tergantung bagaimana keputusanmu mulai dari sekarang.
Nusadadi, Sumpiuh, 25/06/18
KAMU SEDANG MEMBACA
Konspirasi Rasa
PoesieTentang bahagia dan air mata. Tentang cinta yang tak pernah terbalaskan dan tak pernah terungkapkan. Ajari aku bagaimana cara merangkai kata. Bagaimana caraku menyatakan segalanya. Aku tak mampu mengakuinya. Aku hanya manusia yang tak tau diri. Meng...