Sebenarnya aku bingung harus menulis apa, karena Erik tidak banyak bercerita kepadaku. Begitu pula kepada Evan. Aku hanya menangkap sedikit bayangan masa lalu dari memori anak itu.
Erik masih kecil, yang dia pikirkan hanya main, main dan main. Dia sama sekali tidak mau mengingat masa lalunya. Membuatnya semakin rindu pada orang tuanya.
Tapi, aku berhasil mendapatkan sedikit cerita dari ayahnya, Rudolf Van Likken.
Sedikit cerita mengenai pertemuanku dengan ayahnya Erik. Aku sedang berjalan-jalan bersama temanku, Langit. Yaaaa... tentu saja bukan jalan-jalan biasa. Hari itu, aku, Rizal dan Langit berjalan-jalan disekitar jalan Babakan Siliwangi. Iseng saja, mendatangi tempat yang kental dengan mitos di kota ini.
Setelah dari Babakan Siliwangi, Rizal pamit pulang terlebih dahulu, karena ada janji dengan temannya. Jadi hanya aku dan Langit yang melanjutkan jalan-jalan.
Oh iya, Langit adalah teman baruku. Mungkin di kisah-kisah berikutnya, perjalananku akan ditemani oleh Langit. Karena Evan kini ada di Ibukota untuk melanjutkan pendidikan. Dan aku bertemu ayah Erik baru-baru ini, setelah Evan sudah di Ibukota. Jadi mungkin alur cerita ini agak membingungkan.
Dari Babakan Siliwangi, aku berbelok ke kiri, lalu berhenti disebuah bangunan Belanda. Ada seorang pria di dalam gedung itu. Dia tidak bisa keluar dari sana. Berbicara kepadaku hanya lewat jendela.
"Tuan siapa?" tanyaku.
"Kau sudah tahu siapa aku," jawabnya.
Aku berpikir sejenak. Aku sama sekali tidak tahu siapa dia. Lalu dikepalaku terlintas sebuah nama, Rudolf.
"Anda, Tuan Rudolf?" tanyaku.
Dia hanya mengangguk.
"Rudolf siapa ya?" tanyaku pada Langit.
"Mana gua tahu," jawabnya.
"Ohh.. mungkinkah Tuan, Rudolf Van Likken? Ayahnya Erik?"
"Ja." Jawabnya.
"Oh, halo Tuan. Apakah Tuan mau bertemu Erik?" tanyaku.
"Jangan pernah bawa Erik kemari," katanya.
"Kenapa? Erik sangat merindukanmu. Dia menunggu anda."
Tuan Rudolf terlihat bersedih.
"Sedih siah Nov," kata Langit.
"Iya, lu dapet bayangan kejadian dulu di sini ga, Ngit? Gua dapet astaga ngeri pisaaan,"
"Iya dapet."
================================
Kejadiannya menjelang sore hari. Tuan Rudolf sudah selesai dengan pekerjaannya dan bersiap menjemput Erik.
Suasana kantor sore itu masih terasa hangat, beberapa pegawai bercanda, berbincang santai sambil membereskan mejanya. Tuan Rudolf yang pertama selesai.
Dia memakai coat hitam panjangnya, memakai topi, dan menjinjing tas kerja di tangan kirinya sambil berpamitan kepada rekan kerjanya yang lain.
Tuan Rudolf tidak tahu, kantornya sudah dikepung oleh Nippon. Mulai dari halaman depan, hingga lantai satu kantornya sudah tidak ada bangsanya yang bernyawa. Hanya tinggal ruangan tempat Tuan Rudolf bekerja.
Ketika pintu ruangannya ia buka, tentara Nippon sudah menunggunya. Lalu dengan sekali tebas, kepala Tuan Rudolf terpisah dari tubuhnya. Tuan Rudolf menjadi orang yang pertama dibunuh oleh Jepang diruangan itu.
Ia tidak sempat bertemu dengan anak kesayangannya. Ia tidak sempat bertemu dengan istrinya.
"Aku hanya ingat saat aku bermain dengan Erik di halaman rumahku,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka yang Memegang Janji
HorrorHallo, namaku Novi. Kali ini aku mencoba menceritakan pengalamanku bertemu dengan teman-temanku dari dunia "sebelah". Tentang mereka yang menunggu. Tentang apa yang membuat mereka menunggu. Tentang kisah pertemuan hingga pertemanan kami. Cerita ini...