Hallo, sebut saja nama saya Maya. Saya biasa dipanggil "Mba". Saya berasal dari pulau seberang. Tujuan saya datang ke Bandung adalah untuk menemui calon suami saya yang sedang merantau di kota ini.
Sekarang saya menetap di sebuah taman yang terletak di sebelah lapangan olahraga. Saya tidak bisa pulang. Maka dari itu, saya ingin kisah saya diketahui banyak orang. Saya ingin orang tahu bahwa saya ada. Saya ingin orang tahu, kisah saya yang memilukan, maka inilah kisah saya.
~~~~~
Sudah lama aku menjalin hubungan dengan kekasihku, Fandi. Fandi memperlakukanku dengan sangat baik, sifatnya yang santun membuat kedua orang tuaku memberi restu kepada kami.
Sekarang Fandi bekerja di sebuah proyek, dengan penghasilan seadanya. Tapi tidak mengikis niat kami untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Kami memiliki celengan yang setiap hari kami isi untuk mewujudkan impian kami untuk segera berumah tangga.
Hingga suatu hari, pekerjaan Fandi mengharuskannya pergi keluar kota selama satu tahun. Saat Fandi menyampaikan bahwa ia akan merantau ke luar pulau, perasaanku sangat sedih. Tidak pernah seharipun aku lalui tanpa bertemu Fandi. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana caranya aku melewati hari tanpa Fandi selama satu tahun kedepan.
"Kamu tidak usah pergi, tidak apa-apa kan? Bisa kan?" tanyaku.
"Sayang, kamu jangan sedih. Ini kan demi masa depan kita," jawab Fandi.
"Aku takut..."
"Apa yang kamu takutkan?" tanya Fandi.
"Aku takut kamu tidak kembali kepadaku," jawabku.
"Kalau itu yang kamu takutkan..." Fandi tampak merogoh kantong celananya, meraih sebuah kotak kecil berwarna merah, dan menunjukkan isinya. "Maya, kita sudah lama bersama-sama, maukah kamu menikah denganku?"
Aku tertegun menatap kotak yang berisi sebuah cincin emas di dalamnya. Ini adalah hal paling romantis yang pernah Fandi lakukan kepadaku. Aku mengangguk tanda setuju. Fandi lalu memakaikan cincinnya ke jari manisku.
"Besok, aku dan orang tuaku ke rumah untuk melamarmu secara resmi. Orang tuamu sudah tahu, kau tinggal siap-siap saja besok."
Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku. Hanya Fandi yang bisa membuatku bahagia dan merasa sempurna sebagai seorang wanita.
Keesokan harinya, Fandi datang dengan kedua orang tuanya. Secara resmi melamarku, dan kini kekhawatiranku sedikit menurun. Aku percaya Fandi akan menepati janjinya.
Tepat sebulan setelah pertunanganku, Fandi pergi ke Bandung. Dia berjanji untuk tetap saling mengirim surat, saling menjaga komunikasi kami.
Awalnya semua berjalan dengan baik. Surat dari Fandi selalu datang tepat waktu. Sedikit banyak mengurangi rinduku padanya. Tapi setelah bulan ketiga, surat mulai jarang datang. Aku mencoba mengerti, menghalau segala pemikiran-pemikiran buruk yang mulai bermuculan, aku selalu beranggapan bahwa Fandi sibuk, hingga tidak sempat membalas surat.
Hingga akhirnya, surat dari Fandi tak pernah datang lagi. Aku mulai khawatir, pikiran-pikiran buruk yang semula aku sangkal, kini semakin kuat muncul ke permukaan.
Bagaimana kalau di sana Fandi sakit keras?
Bagaimana kalau Fandi sedang dapat kesusahan?
Bagaimana kalau Fandi memiliki kekasih lain di sana?
Bagaimana kalau Fandi menikahi wanita lain di sana?
Bagaimana kalau Fandi mengingkari janjinya?Atas dasar itu, aku memohon izin kepada kedua orang tuaku untuk mencari Fandi di Bandung. Tetapi, aku tidak diizinkan pergi. Ayahku takut sesuatu terjadi padaku.
Fandi sudah menghilang selama lima bulan, aku yang semakin kalut kemudian pergi menemui orang tua Fandi. Dan ternyata, Fandi juga berhenti mengirimi surat kepada kedua orang tuanya.
Dan, ini sudah bulan ke dua belas di tahun ini. Berarti satu bulan lagi seharusnya Fandi pulang. Aku akan menunggu hingga satu bulan ke depan. Jika Fandi tidak datang, aku akan menyusulnya dengan, atau tanpa izin orang tuaku.
Satu bulan kemudian....
Malam itu, di penghujung bulan Januari, aku memutuskan untuk menemui Fandi di Bandung. Aku sudah menyiapkan semuanya, apapun yang terjadi, aku akan pergi.
Beberapa hari kemudian....
Aku sudah sampai di Kota Bandung. Aku mencari alamat yang tertera pada setiap surat yang Fandi kirimkan.
Aku bertanya kesana kemari, mencari di setiap sudut kota ini. Pada akhirnya, aku menemukan Fandi.
Tapi Fandi tidak sendiri. Dia sedang bersama dengan seseorang yang tidak aku kenal. Terlebih, Fandi memeluknya.
"Fandi..." aku memanggilnya. Fandi dan wanita tadi tampak terkejut akan kedatanganku, begitu pula wanita di sampingnya.
"M..Maya... kamu sejak kapan di sini?"
"Siapa wanita itu, Fandi? Jadi ini alasan kamu berhenti mengirimiku surat? Bulan depan kita menikah, dan kamu malah asyik bermesraan dengan wanita lain di sini?" air mataku mulai mengalir. Rasanya sia-sia selama ini aku mengkhawatirkannya. Sia-sia aku menyusulnya. Yang aku dapat hanya pengkhianatan dari seorang laki-laki yang bodohnya selalu aku tunggu.
Aku dan Fandi bertengkar hari itu, aku pergi entah kemana. Aku mau pulang lagi ke kampung halamanku. Aku merindukan orang tuaku.
Fandi tidak mengejarku. Aku bermalam disebuah tempat ibadah, untuk kemudian melanjutkan perjalananku ke terminal.
Saat aku bangun keesokan harinya, Fandi sudah berada di depanku. Berlutut, menangis dan meminta maaf. Fandi mengakui semua kesalahannya, dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Fandi terlihat benar-benar tulus saat berlutut dan meminta maaf kepadaku. Aku tidak tega. Bagaimanapun aku mencintai Fandi. Aku memaafkan dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.
Saat itu, akhirnya semua kembali normal. Fandi mengajakku jalan-jalan ke suatu tempat yang rimbun dengan pepohonan.
Mungkin aku terlalu naif, sudah mempercayai dan memaafkan Fandi. Semua cintaku luruh saat Fandi memukul kepalaku dari belakang.
Aku terjatuh, tapi tidak kehilangan kesadaran. Aku berbalik, hari ini aku melihat Fandi yang sangat berbeda. Tidak ada Fandi yang santun dan selalu bertutur lembut. Fandi berubah 180˚
Melihat aku yang masih sadar, Fandi melanjutkan aksinya. Sekali lagi dia memukul kepalaku, aku mengindar, sialnya mata kananku terkena pukul. Aku mulai limbung, aku mencoba berteriak, tetapi Fandi mencekik, dan entah menggunakan apa, dia merobek mulutku, dan menarik lidahku hingga hampir putus.
Dengan sisa kesadaran yang aku punya, aku menyaksikan Fandi tersenyum puas saat menyiksaku. Melihatku yang masih sadar, Fandi semakin menyiksaku hingga tangan kananku hampir putus. Aku memejamkan mata. Kesadaranku hampir hilang, saat aku melihat Fandi pergi meninggalkanku sendirian.
Akhirnya aku meregang nyawa.
Tidak ada yang tahu kisahku, maka aku meminjam tubuh anak ini untuk menuliskan ceritaku.
Aku melihat anak ini sendirian ditaman, bermain bersama anak-anak Belanda yang sudah ada di sana sebelum aku.
Aku mengikutinya, dan bercerita padanya lewat mimpi. Dan dia mengijinkan aku meminjam badannya untuk bercerita pada kalian.
Mungkin hingga sekarang, orangtuaku tidak tahu menahu tentang kabar anaknya.
Maka dari itu, aku ingin semua orang tahu, dengan harapan kabar ini akan sampai pada orangtuaku.
Aku juga ingin di doakan.
Aku sudah ikhlas jika jalan hidupku harus seperti ini. Setidaknya, aku bisa sedikit tenang jika sudah ada yang tahu kisahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka yang Memegang Janji
HorrorHallo, namaku Novi. Kali ini aku mencoba menceritakan pengalamanku bertemu dengan teman-temanku dari dunia "sebelah". Tentang mereka yang menunggu. Tentang apa yang membuat mereka menunggu. Tentang kisah pertemuan hingga pertemanan kami. Cerita ini...