Bab 6

271 20 9
                                    

Di kediaman Julia River polisi sudah memasang garis polisi untuk mengamankan TKP agar tidak tercemar, tim forensik yang hilir mudik sibuk melakukan tugas masing-masing. Mereka semua berusaha mencari petunjuk lain—selain pisau—yang saat ini sedang diindentifikasi. Semuanya hampir mengukur setiap inci dalam kamar yang sebelumnya ditempati oleh Ibu Monica tersebut, tidak ingin melewatkan hal kecil apapun yang berpotensi menjadi kelalaian dalam kinerja mereka.

Sementara itu Monica tengah duduk di sofa yang ada di ruang tamu, dia memeluk syal ungu pucat milik Julia, benda itu sudah basah oleh air matanya. Tubuhnya bergetar saat dia terus terisak dan tidak percaya, Monica berharap apa yang dia alami hari ini hanyalah mimpi. Sekalipun dia marah pada wanitu, tapi saat melihatnya mati dengan keadaan yang mengenaskan; rasanya dia ingin membunuh bajingan yang telah membuat Ibunya mati dengan cara yang mengerikan seperti itu.

Tapi apa yang dapat dia lakukan? Setelah melihat Neil berdiri di samping Ibunya sambil memegang pisau; rasa sakit, marah, dan kebenciannya sudah tidak dapat ditakar lagi. Menyaksikan pria yang beberapa waktu terakhir sudah menjadi pusat dunianya berlaku seperti itu, hal tersebut membuat seluruh dunia baru yang dimilikki Monika hancur berserakkan, teronggok di bawah kakinya seperti tumpukkan alas kaki. Impiannya untuk menjalin sebuah hubungan normal seketika terhempas, dia merasa seperti dijatuhkan dari atas awan, ke dalam jurang yang curam.

Rasa sakitnya meremukkan semua tulang saat tubuhnya terhempas pada batu-batu besar yang tidak rata. Tapi, dari semua pemikiran yang berkelebat dalam kepalanya, Monica merasa menjadi seseorang yang brengsek karena merasa pria itu tidak bersalah. Sorot mata Neil saat berkata bahwa dia bukan pelakunya menghantui Monica, dan kilatan rasa sakit yang dia lihat saat pria itu berlari ke arah jendela. Neil tampak seolah-olah seperti seseorang yang tengah dijebak.

Tapi pertanyaan yang terus mengaum dalam kepalanya tidak kunjung mendapat jawaban, siapa orang yang tega melakukan hal keji seperti itu pada Ibunya? Siapa orang yang sudah menjebak Neil? Masalah apa yang tidak diketahuinya? Semua pertanyaan itu terus berkelebat dalam kepala Monica, dia tidak dapat menemukan jawaban yang tepat. Bahkan secuil pemikiran yang terlintas, tentang permasalahan yang dapat berakibat fatal seperti ini tidak dapat dia temui.

"Maaf, Miss. Lewandowsky," seorang pria bertubuh tegap dengan postur seperti agen FBI sudah berdiri di depannya, pria itu menunjukkan tanda pengenal dan memperkenalkan diri, setelah Monica memberikan perhatian penuh. Pria itu kembali melanjutkan, "Saya tahu saat ini Anda sedang merasa tidak baik," Pria itu mungkin sudah kebal saat Monica menatapnya dengan wajah sedih.

"Apa yang kau inginkan?" Jika boleh jujur, Monica tidak ingin berbicara pada siapapun. Terlebih dia sangat yakin bahwa dirinya harus menceritakan kronologis, hal tersebut terasa menambah luka baru dibagian tubuhnya yang sedang berdarah-darah, sekalipun dia menolak, Monica yakin jika pria itu akan memaksanya, bahkan Monica sangat yakin jika para polisi itu bisa melakukan segala hal; agar membuatnya mau memberikan keterangan.

"Saya rasa Anda sudah paham, jika anda memberikan keterangan. Maka hal itu bisa mempermudah pihak kepolisian dalam melakukan penyelidikkan," pria yang mengaku bernama Mr. Horrison itu berusaha membujuknya untuk bicara, "Apa yang Anda lihat, dan apakah kebetulan Anda mengingat wajah pelaku?" Pria itu menambahkan sambil menatap Monica dengan lekat.

Monica menarik napas panjang, dia mengucapkan kata pertama dengan bibir bergetar. Dia menceritakan janji temu dengan Ibunya pada pagi ini, hampir tidak ada yang terlewat sampai dia menemukan Neil di kamar Ibunya sambil memegang pisau. Dia mengganti nama Neil dengan kata pria itu, dan berharap polisi itu tidak kembali mengajukan pertanyaan lain. "Apa kau mengingat wajahnya? Atau mengingatnya sebagai seseorang yang dikenal?"

Bajingan! Harapannya hanya menjadi omong kosong yang tidak dapat terbukti.

"Aku—" sebelum dia sempat menyelesaikan perkataannya, seorang deputi menyela perbincangan mereka.

Surrender To Believe #4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang