"Aryo, besok kamu ikut Om ke Bandung. Om ada rapat dengan pihak bank di sana."
"Baik, Om."
Kita berangkatnya jam 7. Harus udah siap satu jam sebelumnya, seperti biasa."
"Baik, Om."
Om Harry berbalik, berjalan cepat meninggalkan bilik kerjaku. Kupandangi punggung beliau. Aku seperti sedang menatap Edward dari belakang.
Besoknya kami berangkat ke Bandung. Sudah dua tahun aku bekerja di kantor Om Harry, dan sudah dua tahun aku menjadi salah satu anak buah kesayangan beliau.
Saat ini Om Harry tengah berusaha bermanuver dalam rangka mengembangkan karir bisnisnya. Beliau sedang gencar-gencarnya melakukan upaya pengakusisian beberapa bank di Jawa Barat. Bukan sembarang bank, melainkan yang berbaris syariah. Naluri bisnis beliau mengisyaratkan, bahwa ke depan, kesadaran orang-orang Islam untuk menabung di bank yang bebas riba akan semakin meningkat. Bank syariah akan menjadi tonggak penting perekonomian Indonesia di masa yang akan datang, ujar beliau selalu.
Bagiku itu hal yang ironi. Om Harry, yang anti Islam, justru sekarang malah berinisiatif untuk bersentuhan dengan sistem perekonomian orang-orang Islam, bersedia masuk ke dalam pola hidup mereka. Tentu semua itu beliau rela lakukan hanya demi satu hal : uang. Lagi-lagi.
"Kita juga akan bertemu dengan Tuan Arif Rahman. Beliau konsultan keuangan syariah untuk bank Om." Om Harry menjelaskan agenda kami selama di Bandung.
"Untuk masalah kebijakan bank, kita akan banyak berkonsultasi dengan beliau."
Om Harry menyodorkan smartphone-nya padaku.
"Ini orangnya."
Kumiringkan badanku sedikit agar bisa melihat foto Tuan Arif Rahman dengan jelas. Ternyata orangnya masih sangat muda, mungkin seumuran denganku. Wajahnya sangat tampan, setampan Aarif Rahman, aktor China super ganteng itu. Bedanya, Tuan Arif memakai kacamata dan berjanggut. Aku tersenyum geli membayangkan kebetulan yang sangat unik itu. Nama yang sama dan wajah yang sama.
Akhirnya kami tiba di Bandung. Kami memasuki kawasan Dago, tempat pertemuan akan diadakan.
"Assalamu'alaikum." Sapa seorang pemuda ramah.
"Bapak Harry Pius Hendrikusomo, Bapak Aryo Rafani Novanto?" Tanya pemuda itu, masih dengan pembawaan yang ramah.
Aku mengangguk.
"Silahkan masuk. Seminar sudah dimulai."
Om Harry dan aku langsung memasuki ruang pertemuan. Ternyata sebelum rapat, ada semacam seminar kecil sebagai pengantar. Ketika kami masuk, sesi pembacaan curiculum vitae pemateri tengah berlangsung. Aku langsung mengambil kursi di bagian belakang, jauh dari MC. Untuk beberapa alasan tertentu, aku tidak suka dengan segala hal yang berbau "seminar". Aku menyimak ucapan MC dengan malas.
" .... Pendidikan Strata Satu, Jurusan Ekonomi Universitas Indonesia, tahun 2009-2012, Pendidikan Strata Dua, Jurusan Ushul Fikih, Fakultas Syariah, Universitas Islam Al Imam Muhammad bin Saud, tahun .... "
MC masih terus berbicara. Aku sama sekali tidak berminat untuk mendengarkan.
" .... Itulah tadi profil Ustadz Arif Rahman, dan sekarang beliau ada di tengah kita semua .... "
Aku mencoba mengusir kebosanan dengan cara men-chat Edward.
Aku : Lo lagi di mana?
Edward : Dago
What?
Aku : Ah, nggak usah bo'ong lo. Dosa tau.
Edward : Siapa yang bohong? Gue emang lagi di Dago kok.
Alisku berkerut. Setahuku, aku tidak pernah memberitahu Edward soal kunjunganku ke Bandung.
Aku : Gue juga lagi di Dago. Lo stalking gue pake aplikasi apaan? Jangan-jangan aplikasi teroris?
Edward : Nggak lah. Gue lagi ikut seminar.
Hah?
Aku : Sama. Gue juga lagi ikut seminar.
Edward : Angkat pala lo.
???
Edward : Gue bisa liat muka lo dari tempat duduk gue. Papa juga.
Aku cepat-cepat mengangkat kepala. Dan tidak jauh dari tempat dudukku, kulihat seorang pemuda tampan melambaikan tangannya ke arahku sambil tersenyum. Kucoba memicingkan mata. Tunggu dulu, bukankah itu .... Tuan Arif Rahman?
Kuamati Tuan Arif dengan cermat. Wait, wait. Kalau dicermati secara seksama, wajah Tuan Arif mirip ... Edward!
Aku seperti tersengat listrik. Badanku dingin. Buru-buru ku-chat Edward.
Aku : Lo .... Arif Rahman?
Edward is typing ...
Yaps.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDWARD
Short Story[Selesai] "Ewdard, kau mau ke mana?" "Entahlah. Sejauh yang aku bisa." "Kau serius?" "Aku sudah menentukan. Tidak ada pilihan lain."