Sekarang lagi.
Satu notifikasi dari Whattsapp-ku berbunyi. Nama Edward Kardha Hendrikusumo tertera di display.
Edward : Tes
Aku : Lo punya WA juga ya? Kirain di situ nggak ada sinyal internetan?
Edward : Gue lagi nggak di Raja Ampat. :)
Aku : Lo di mana sekarang?
Edward tidak membalas chat-ku, malah mengirim sebuah gambar. Gambar sebuah pantai. Pantai yang sangat indah.
Edward : Gue di Wakatobi Yo!!! :)
Aku : Ngapain lo di sana?
Edward : Gue lagi ikut Program "Tebar Da'i Nusantara". Gue lagi diperbantukan di sini. Membina masyarakat gitu.
Aku langsung menelepon Edward.
"Lo nggak ada rencana balik ke Jakarta?"
"Belum kepikiran, Yo."
"Sampai kapan lu seperti ini Ed?"
"Sampai kapan gimana maksud lo?"
"Lo nggak kengen sama--?"
"Gue bahagia di sini, Yo." Edward memotong kalimatku. "Banyak pelajaran berharga yang gue dapat selama tinggal di Papua." Lanjutnya.
Hening.
"Gue punya sejuta alasan untuk tetap tinggal."
Sebutkan gue satu-satu Ed, gue bantah semuanya.
"Dulu, gue hidup dengan satu prinsip sederhana : Punya uang, semua urusan jadi gampang. Uang, bagi gue adalah pembeli kemudahan. That's the power of money."
Aku sepakat.
"Gue terlahir dari keluarga berada. Gue nggak pernah ngerasain yang namanya kesusahan uang. But here? Gue fakir sefakir-fakirnya, Yo. Gue harus mandiri, harus pintar mengakali keuangan agar bisa survive. Jiwa pejuang. Itu yang nggak gue punya di Jakarta."
Lagi-lagi aku sepakat.
"Di sini gue menemukan arti keikhlasan. Gue salut, salut, Yo. Sama Ustadz-ustadz gue di sini. Mereka rata-rata miskin, tapi sangat dihormati masyarakat. Mereka dihargai bukan karna duit. Tapi karna ilmunya. Penghormatan warga pada mereka tulus. Ini juga yang nggak pernah gue liat di Jakarta. Beda dengan penghormatan orang-orang pada Papa. Mereka bersikap manis pada Papa karna Papa punya uang dan kekuasaan. Seandainya Papa bangkrut, pasti mereka semua menghilang. Mereka penjilat, Yo."
Untuk yang satu ini, aku tidak bisa untuk tidak sepakat. Manusia akan begitu baik hati saat kita memberi mereka uang, dan akan menjadi sangat jahat saat kita mengambil uang mereka. That's money's problem.
"Tapi lima tahun udah terlalu lama, Ed. Lagian lo pernah nggak ada kabar selama dua tahun. Lost contact. Ke mana aja lo selama dua tahun itu?"
"Rahasia."
"Pokoknya lo harus balik ke Jakarta."
"Gue belum bisa. Sekarang lagi sibuk-sibuknya. Pekan depan gue musti ke Batuatas, sebuah pulau kecil di tengah lautan, antara Pulau Sulawesi dan NTT. Terisolir gitu. Air langka di sana. Da'i juga."
"Lo mau-mau aja ke sana?"
"Yaps. Lo nggak tau aja. Ada kepuasan tersendiri dalam diri gue setiap kali gue ngejalanin program pembinaan agama. Gue bahagia ngeliat ekspresi kakek-kakek yang terbata-bata menyebut huruf saat diajarin baca Al-Quran. Gue senang ngeliat anak-anak berkumpul di masjid, rame-rame shalat berjama'ah. Gue merasa enjoy bisa ketemu masyarakat dari daerah minus. Dan gue merasa tentram saat bersama Ustadz-ustadz gue. Gue udah nemuin kebahagiaan yang hakiki, Yo. Apalagi yang gue cari?"
"Dan setelah gue pikir-pikir." Edward masih bersuara.
"Gue sepertinya udah pantas disebut traveller, Yo!"
Aku belum berkomentar. Aku masih menunggu momen yang tepat.
"Ed." Akhirnya aku angkat bicara.
"Kalau lo mati di negeri orang gimana?"
Edward terdiam.
"Nggak masalah."
"Apa sih sebenarnya yang ada di kepala lo?"
"Sampai nekat ngambil jalan yang berat itu?" Aku mencoba filiosofis.
"Lo tau Mushab bin Umair?" Edward balik bertanya.
"Nggak. Siapa?"
"Salah seorang sahabat Nabi. Memang sih, nggak sepopuler Abu Bakar, Umar atau Ali. Tapi tetap saja, kisahnya mampu menginspirasi gue."
"Oh .... ,"
"Nanti gue kirimin kisahnya ke lo lewat WA."
KAMU SEDANG MEMBACA
EDWARD
Short Story[Selesai] "Ewdard, kau mau ke mana?" "Entahlah. Sejauh yang aku bisa." "Kau serius?" "Aku sudah menentukan. Tidak ada pilihan lain."