Delapan

1.1K 132 122
                                    

"Aryo."

"Iya Om?"

"Kamu masih sering berhubungan dengan Edward?"

Kenapa tiba-tiba?

"Ehm .... , iya Om. Jarang-jarang, sih." Aku berkilah.

Mobil melaju kencang membelah jalanan Kota Bandung yang padat. Kami dalam perjalanan kembali menuju Jakarta.

Om Harry menghela nafas.

"Saat bertemu Tuan Arif tadi, Om jadi teringat Edward. Mereka berdua sangat mirip."

Oh, oh. rupanya Om sadar juga kalau wajah Tuan Arif mirip dengan Edward.

"Bahkan Om sempat berkhayal, seandainya saja Tuan Arif itu Edward."

Aku diam saja. Om tidak berkhayal kok. Semuanya nyata.

"Aryo." Om Harry kembali menyebut namaku.

"Menurut kamu, Om ini orang tua yang kejam, tidak? Sampai tega mengusir anak hanya karena berbeda keyakinan."

"Ehm .... , gimana ya." Jawabku canggung. "Di mata Aryo, Om adalah orang tua yang punya prinsip." Ujarku diplomatis.

Om Harry terdiam.

"Prinsip?"

"Bagaimana jika prinsip hidup Om selama ini salah?"

Aku tidak berani menjawab.

"Bagaimana jika prinsip yang Om yakini selama ini, ternyata hanyalah perwujudan sifat egois dalam diri Om? Om sudah sering berbuat semena-mena pada orang lain atas nama prinsip!"

Aku menunduk.

Om Harry terdiam, kemudian menutup matanya. Dan ..., hei .... ! Om Harry menangis!

"Om rindu Edward, Yo .... " Suara beliau lirih.

Aku kasihan melihat Om Harry yang terisak-isak. Lima tahun lamanya beliau memendam rindu pada Edward, memendam rasa derita itu sendirian.

"Om ... , " Akhirnya aku berani bersuara.

"Om ingin ketemu Edward?"

Om Harry menatapku dalam. Air mata masih menggenang di pelupuknya. Beliau mengangguk pelan.

Aku membetulkan posisi dudukku, lalu mengangkat wajah.

"Mas Pras, tolong putar arah, ya. Kita ke Masjid Salman ITB dulu." Ujarku pada Mas Prasetyo, sopir mobil Om Harry.

"Siap, Mas." Jawabnya.

EDWARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang