Sebenarnya, jika mau jujur, sedikit banyak aku tahu penyebab keislaman Edward. Muhammad Rais. Dialah penyulut semua prahara itu. Rais sepupu satu kaliku. Orangnya religius dan baik hati. Seorang Ustadz muda. Rais mendapat beasiswa untuk kuliah Jurusan Hadits Syarif Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
Nah, Ramadhan tahun ini, Rais datang berkunjung ke rumahku. Liburan selama dua pekan.
Nah, di saat itulah, Edward--yang tida hari kecuali mampir ke rumahku--bertemu dengan Rais.
Awalnya aku tidak menaruh curiga pada Edward yang tampak sering bertanya ini-itu tentang Islam pada Rais. Pun saat mereka terlihat saling berdebat sengit tentang agama-agama manusia di depan televisi. Aku menganggapnya sambil lalu. Mengingat tingkat kecerdasan Edward dan Rais yang di atas rata-rata orang kebanyakan, maka bagiku wajar-wajar saja jika keduanya sering terlibat adu argumentasi.
Diskusi intensif selama empat belas hari bersama Rais ternyata berhasil merubah mindset Edward tentang keyakinan. Di saat Rais kembali ke Arab Saudi, Edward memilih membaca buku-buku tentang Islam untuk memenuhi rasa ingin tahunya.
Nah, di saat itulah, Hidayah menyapa Edward.
Dan di saat aku mulai sadar, semuanya telah terjadi. Perang pun dimulai.
***
Perihal bahwa Rais adalah salah satu dalang di balik semua masalah ini, cukup menjadi rahasia kecil antara aku dan Edward. Om Harry tidak perlu tahu. Bisa tambah runyam nanti jika beliau tahu bahwa ada orang ketiga yang terlibat. Lagipula Om Harry tidak kenal Rais, Rais tidak kenal Om Harry, dan Rektor UI tidak kenal aku.
Intinya, aku ingin masalah ini terselesaikan secara alami. Maka aku pun menunggu, kapan Civil War antara ayah dan anak itu berakhir.
Satu pekan berlalu, suasana masih memanas.
Dua pekan berlalu, masih sama.
Tiga pekan .... , empat pekan, sama saja.
"Halo? Ed, lo tinggal di mana?" Tanyaku panik.
"Tenang aja. Gue sekarang tinggal di Depok. Di Pesantren. Gue kan muallaf. Gue musti belajar Islam dari nol." Jawab Edward santai.
Bah! Bukannya berpikir untuk mengalah, ini justru malah tinggal di pesantren!
"Gila lo, Ed." Ujarku singkat.
Dan dua bulan pun berlalu.
Dan Tiga .... , empat ...., lima ....., sebelas ...., dua belas .... ,
Genap setahun!
Setahun berlalu, belum ada yang mau mengibarkan bendera putih. Semua ngotot dengan keputusan masing-masing. Om Harry masih tetap bersikukuh untuk menjaga martabatnya sebagai kepala keluarga umat Kristiani yang taat, sementara Edward makin teguh memegang ajaran Nabi Muhammad.
Tengah malam, hapeku berbunyi.
Siapa sih, malam-malam gini?
"Halo?"
"Gue nggak tahan lagi, Yo .... , "
"Edward?"
"Iya. Ini gue, Edward. Gue nggak tahan lagi, Yo ...., "
"Gue nggak tahan lagi dengan teror dari Papa, Yo .... "
"Jadi selama ini lo diteror, Ed?"
"Iya Yo. Kalau hanya gue yang diteror nggak masalah. Tapi teman-teman di sekitar gue juga kena, Yo. Bahkan orang-orang suruhan Papa ngancem mau bakar pesantren. Gue merasa bersalah, Yo."
Akhirnya.
"Jadi lo mau nyerah?" Tanyaku meminta kepastian. Maksud lain dari pertanyaanku, Lo mau balik ke rumah ayah lo?
"Nggak, Yo. Gue nggak nyerah. Tapi gue mutusin untuk ninggalin Jakarta."
"Hah? Mau ke mana lo??"
Hening sejenak.
"Papua, Yo."
KAMU SEDANG MEMBACA
EDWARD
Short Story[Selesai] "Ewdard, kau mau ke mana?" "Entahlah. Sejauh yang aku bisa." "Kau serius?" "Aku sudah menentukan. Tidak ada pilihan lain."