Dua

1.1K 152 50
                                    

6 Tahun yang lalu.

Edward Kardha Hendrikusumo, memenuhi semua kualifikasi terhormat sebagai seorang pria idaman. Kaya? Heh. Defenitely. Kaya sekali malah! Edward bisa bolak balik ke Singapura sama seperti tukang ojek pulang pergi ngutang rokok ke kios tetangga. Terlalu sering. Ganteng? Heh. Jangan tanya. Ayahnya, Harry Pius Hendrikusumo--pemilik saham terbesar perusahan properti di Jakarta Utara--adalah gentleman chinese berwajah tampan, tegas dan berwibawa. Beliau Wallace Huo-nya Kemayoran. Ibunya, Lady Marry Centlemere, seorang warga Britania Raya, sepupu jauh Pangeran William, memiliki kecantikan selevel Cinderella. So, tidak perlu diperdebatkan bagaimana bentuk struktur rahang Edward. Cukup sebuah senyum kecil saja, mampu membuat cewek-cewek mall jadi lupa discount, lupa pasangan, selingkuhan, apalagi mantan. Cerdas? Heh. Edward lulusan terbaik salah satu universitas ternama di Jawa Barat. Baik hati? Heh. Edward seperti titisan santa. Rajin menyumbang dan tidak pernah absen kebaktian gereja.

Kehidupan keluarga Edward begitu sempurna. Semuanya terasa begitu indah.

Sampai akhirnya,

Edward terserang penyakit.

Penyakit gila yang misterius.

Entah siapa yang meracuninya.

"I'm your brother now." Ujar Edward dengan senyum manis mempesona yang mampu membuat Maudi Ayunda terserang diabetes--mungkin.

"Ya. I'm your brother .... ." Jawabku agak heran karena Edward menjabat tanganku dengan erat.

Mabuk lu, ya, Ed? Pikirku dalam hati.

"I'm your brother. Brother Muslim." Lanjutnya lagi. "Gue udah masuk Islam, Yo." Ujarnya masih dengan senyum manis pempesona.

"HAH???!!"

Maka prahara pun dimulai.

***

"Pergi kau dari rumah ini!! Pergi!!!"

"BUK!!"

Om Harry mendorong tubuh Edward dengan kasar. Putra keduanya itu terjerembab ke tanah dengan posisi yang menyakitkan. Tante Marry dan Daniel memandangi Edward dengan tatapan dingin tanpa ekspresi. Mereka seperti sedang menyaksikan maling ayam yang tertangkap basah sedang membongkar kandang akan segera diadili massa. Aku ada di situ ikut menyaksikan, dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku serba salah. Edward adalah teman baikku, tapi Om Harry adalah bos ayahku. Jika tidak bersikap netral, bisa-bisa karir ayahku terancam.

Tiba-tiba Om Harry menatapku tajam. Emosi pasti berhasil menguasai diri beliau. Gawat.

"Kamu!! Ini pasti gara-gara kamu, kan?? Kamu mencuci otak Edward!! Dasar tidak tahu diri!! Mau aku pecat ayahmu??"

Aku menggeleng cepat, wajahku memelas, "Bukan om. Bukan saya om .... , saya nggak tahu apa-apa ...."

"Bohong!! Kamu--"

"Aryo benar Pa." Tida-tiba Edward bersuara. "Ini semua tidak ada hubungannya dengan Aryo. Ini murni pilihan Edward, Pa." Suaranya bergetar.

"Pa," Lanjutnya lagi. "Papa kan selalu bilang, bahwa Papa akan menjunjung tinggi pilihan anak-anak Papa, apa pun itu. Mencoba mewujudkan keluarga yang demokratis." Edward menatap ayahnya dengan tatapan penuh harap, "Tolong hargai pilihan Edward, Pa."

Om Harry terdiam. Beliau mendengus kesal, menatap Edward dengan tatapan yang aneh. Tante Marry dan Daniel melangkah pelan menghampiri Om Harry.

"Malu-maluin keluarga lu, Ed." Daniel menatap sinis adiknya itu, "Apa kata kolega-kolega Papa nanti?"Lanjutnya. "Lu cuma jadi aib! Mending lu mati aja!" Teriaknya sarkatis.

Aku bergidik mendengar ucapan Daniel. Sebegitu bencikah mereka pada Islam?

Om Harry menoleh ke arah Daniel. Beliau menatap tajam putra pertamanya itu. Sepertinya Om Harry tidak suka dengan kata-kata Daniel barusan.Tapi, beliau juga tidak bisa membenarkan keputusan Edward. Om Harry dalam posisi sulit.

"Memang Papa pernah bilang begitu. Tapi bukan untuk masalah agama. Ini tidak bisa ditolerir. Kamu harus meninggalkan rumah ini, dan bisa kembali ke sini kecuali kamu sudah kembali memeluk agama Kristen." Om Harry mengeluarkan keputusan.

Edward menunduk. Aku tahu hatinya hancur. Tapi dia mencoba untuk tegar. Malangnya sahabatku itu.

"Baiklah, Pa." Jawabnya singkat.

Mendengar jawaban tegas Edward, Om Harry terlihat semakin jengkel. Beliau tiba-tiba kembali menoleh ke arahku, menatapku seperti akan mengulitiku. Gawat lagi.

"Kamu!!!"

Heh? Kenapa gue lagi?

"Pokoknya mulai malam ini, kamu harus putus hubungan sama Edward!! Jangan pernah ketemu dia lagi!!!"

Punggungku dingin.

"Dan jangan pernah sekali-kali kamu coba membantunya!!! "

Sekarang badanku panas.

"Awas kalau kamu berani!!! Aku punya banyak anak buah yang jadi mata-mata!!!"

"Berani melawan, tanggung sendiri akibatnya!!!"

Aku berdiri mematung mendengar ancaman keras Om Harry.

Ini sudah keterlaluan. Aku tidak bisa membiarkan Edward dalam kondisi seperti ini.

Maka aku mencoba mengambil sikap jantan dengan cara berdiri tegak dan mengangkat kepala. Kutatap wajah Om Harry--lebih tepatnya jendela kaca di belakang beliau--dengan tenang. Aku harus berani bilang pada Om Harry, bahwa aku tidak akan pernah berhenti berhubungan dengan Edward, apa pun yang terjadi. Aku akan menolongnya, apa pun resikonya. Aku siap menerimanya. Termasuk jika ayahku dipecat. Aku rela berkorban demi Edward. Inilah ujian persahabatan kami!!

"Om .... , " aku berusaha untuk tidak gugup, tapi suaraku terdengar seperti orang yang sedang berbisik. Lirih.

"Apa???!!!"

"Kalau SMS-an .... , boleh kan, Om?"

EDWARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang