Adegan 1 - Cuma 5, Katanya

749 68 26
                                    

"Don't appreciate me, I'm not up to it.

Don't criticize me, I don't deserve it.

Just be my friend and forgive me,

because I am craving for it."


Debasish Mridha

"Kok cuma peringkat 5 sih?!" Dasar nggak bersyukur. Mana ada yang "cuma" kalau kamu peringkat 5 dari 127 anak? Siapa pun yang menyerukan itu pasti tipe anak ambisius tingkat dewa. Kalau aku jadi dia, aku bakal kayang karena bahagia.

"Huhuhuhu, kita misah kelasss!" Cewek-cewek cacing kremi! Over dramatic banget. Segitu takutnya kehilangan satu teman, padahal jumlah penduduk dunia ini lebih dari 7,5 milyar. Males banget cari teman baru.

Menutup telinga, aku menjauh dari kerumunan yang mengerubungi papan pengumuman. Lama-lama telingaku berdenging karena pekikan. Peringkat dan pembagian kelas nggak penting-penting amat. Pohon mangga di belakang sekolah lebih menggoda untuk diberi perhatian, dipanjat, dan buahnya dimakan-kalau aku beruntung.

Tiba di depan jajaran pohon mangga tercinta yang telah menemaniku selama dua tahun terakhir, aku mendongak. Sayang mangganya masih super kecil, belum bisa dimakan. Aku harus puas dengan bersantai di cabangnya.

"Jadi sekarang manjat pohon lebih penting ketimbang liat kamu masuk kelas mana?" Suara sinis itu membuatku limbung. Hampir jatuh kalau nggak sigap memeluk batang pohon. Tanganku merasakan tekstur batang pohon yang kasar. Sekarang posisiku mirip monyet. Cewek yang tadi memanggilku mendelik, berdiri berkacak pinggang seraya menengadah. Harumi Anggita memang nggak bisa melihat orang lain senang.

Melepaskan pegangan dari batang, aku menunduk ke arah Angit. Jarak kami kurang lebih satu setengah meter. "Climb is fun. Class is boring. Masih bisa diliat nanti-nanti, toh nggak bakal berubah. Buatku, hukum karatan di kelas E hampir mutlak. D artinya keajaiban," celotehku, memiringkan kepala. "Gimana, kamu masuk sepuluh besar?"

Angit tersenyum jemawa, lantas berkata, "Rata-rata Aksa lebih jelek sedikit. I win, peringkat satu, 9A."

"Bukan Aksa. Uwang," ralatku. Hubungan Angit dan Uwang-atau Aksa-adalah rival sepihak. Buat Uwang, Angit cuma sekadar teman sekelas yang entah bagaimana sangat ambisius untuk mencengkram peringkat satu di tangan. Tapi buat Angit, Uwang adalah batu pengganjal di jalan masa depannya. Sahabatku itu bertekad mengalahkan Uwang nyaris di semua bidang-nyaris, karena Angit belum mencoba menjadi tukang ledeng.

Sebagian anak yang mengetahui ambisi Angit mengatakan hal itu nggak sehat, harus segera dihentikan. Sepanjang Angit masih ingin jadi dokter spesialis penyakit dalam dan bukannya tukang ledeng-Uwang adalah tukang ledeng profesional untuk ukuran anak SMP, menurut cowok-cowok, karena diajari ayahnya-aku nggak akan menegurnya. Lagian, senang rasanya melihat ada cewek yang masih normal dan nggak berpikir bahwa Uwang adalah Cowok Kita Bersama Yang Ganteng Nan Supel.

"Turun. Capek lama-lama dongak." Aku mencibir. Si bossy Angit. Heran kenapa aku masih mau menuruti perintahnya, padahal kami baru mulai berteman awal liburan kenaikan kelas kemarin. Barangkali karena sebetulnya aku selalu kepingin ada yang mengomeliku karena naik pohon sembarangan selain para guru. Seseorang yang peduli.

Pendaratanku di tanah semulus pesawat tanpa guncangan. Hanya saja sikuku yang bergesekan dengan tanah bercampur kerikil langsung terasa perih. Saat kulihat, lecet dan berdarah. Bodo amat. Kutepuk-tepuk debu yang menempel di rok putih.

Angit sudah pindah tempat ke depan kandang kelinci. Menyentuh mereka dengan jari, mengajak bicara. Aku nggak paham apa faedahnya kita ngajak hewan bicara. Sama garingnya kayak bicara sama tembok. Nggak bisa dibales. Aku juga nggak ngerti kenapa sekolah kami mau repot-repot memelihara beberapa kelinci dan burung, padahal predikatnya adalah sekolah cinta lingkungan, bukan cinta hewan. Namun untunglah hewan nggak bisa bicara, karena aku nggak lagi membutuhkan satu mulut rese di tempat sepi ini.

Babak-Babak DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang