Adegan 4 - Lonceng Angin dan Bakso

259 41 4
                                    

  Patience is not simply the ability to wait,

it's how we behave

while we're waiting. 

- Joyce Meyer -

"Ngit," ujarku tajam, memanggil cewek yang mengaduk bihun di dalam mangkuk baksonya. Rambut yang membingkai sisi wajahnya jatuh menjuntai, hampir-hampir kecelup ke kuah, kalau pemiliknya nggak mendongak. "Jelasin kenapa kamu ngerampas waktu tidurku yang berharga cuma buat bakso kantin?"

Harumi Anggita menatapku dengan pandangan menghakimi. Ada kilat sebal di mata hitamnya. "Kamu pasti belum pernah coba makan bakso ini, makanya bisa ngomong gitu." Lantas Angit membelalak, menuding mangkuk melanin biru muda yang isinya dua buah bakso kasar plus kuahnya, satu gorengan panjang, sebuah siomai, bihun, serta bawang goreng. "Makan. Aku traktir."

Aku cemberut. Jam pelajaran tadi adalah Matematika, yang gurunya menghabiskan separuh waktu terakhir cuma untuk mengomel. Matanya memicing memandang kami--yang semuanya gagal menyelesaikan PR Matematika. Posisi terbaik dipegang Zehra--ingat si ketua kelas?--yang mengerjakan 16 nomor. Aku sendiri berbangga diri dengan 7 nomor.

Katanya, gimana bisa kami lulus SMP kalau nilai tugas saja hancur-hancuran? Mau ngulang SMP? Begitu guru Matematika berujar dengan wajah kesal bukan main.

Mata Zehra yang kebetulan--dan tumben-tumbennya--duduk di sebelahku berkaca-kaca mendengarnya. Kerudungnya menutupi separuh wajah. Dari bahunya yang naik-turun dan duduk gelisahnya, aku curiga cewek itu terisak selagi kami dimarahi. Kemungkinannya cuma dua; dia cengeng atau sedang moody. Tapi kemungkinan pertama lebih besar, toh ada kabar kalau Zehra memang sangat sensitif. Beberapa anak tukang nyindir menjulukinya "Cewek Hati Kaca". Jelas itu bukan pujian.

"Makan nggak?" Angit semakin melebarkan matanya. Aku bersungut-sungut mengangguk, memgambil garpu. Mumpung gratis. Lagian Angit benar; aku belum pernah beli bakso kantin, karena nggak suka makanan berkuah. Soto pertama yang terbeli menyisakan noda kuning permanen di seragam putihku. Saat kami pergi ke kantin berdua, biasanya aku selalu beli gorengan atau apapun yang nggak berkuah.

Aku langsung jatuh cinta pada tekstur bakso yang terasa oleh lidah. Dagingnya enak, terasa lebih banyak ketimbang bakso lain yang banyak kanjinya. Rasa kuning telur terasa ketika aku mengunyah untuk kali kedua. Bakso ini cukup worth it kalau yang dikorbankan waktu tidurku pas jam istirahat.

"Kamu harus rajin keluar kelas pas istirahat," ujar Angit, menopangkan dagu di tangan. "Nanti lama-lama kamu jadi lumut di kelas. Atau penunggu pohon mangga sungguhan."

"Kikikikikikik." Aku menyahut dengan wajah datar. "Tenang aja, aku nggak berminat manjangin rambut jadi kayak mbak kunti kok."

Angit menyeringai, melemparkan rambut ikalnya ke belakang punggung. Cewek itu meletakkan buku paket Seni Budaya di sebelah mangku baksonya yang kosong, lantas mulai tekun membaca. Paling-paling habis ini dia ulangan.

Aku menoleh ke kanan dan kiri. Aku hampir nggak pernah duduk di meja kantin kecuali satu-dua kali, karena gorengan bisa dimakan di mana saja. Setelah bertemu Angit, kami lebih sering menghabiskan waktu istirahat di halaman belakang. Tatapan anak-anak di sekitar terlalu menyebalkan sekaligus menusuk-nusuk punggung sampai rasanya gatal sekali. Namun kali ini, tatapan itu jauh berkurang. Beberapa anak mencuri pandang, lantas buru-buru menunduk setelah mata kami bertemu. Intensitasnya berkurang bukan gara-gara death glare-ku, tapi karena eksistensi Angit.

Tahun ketigaku di SMP Ambawani--sembilan, kalau dihitung sama SD--membuat strata sosial semakin jelas di sini. Nggak resmi memang, tapi aslinya kelihatan banget. Anak-anak yang berada di tangga kepopuleran tertinggi adalah murid yang memenuhi salah satu, atau semua dari kriteria ini. Rupawan atau tampan, kaya, maupun pintar. Jangan tanya kalau aku; yang terkenal cuma karena bandel.

Babak-Babak DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang