Adegan 8

382 42 17
                                    

Baru-baru ini, ada insiden di sekolah. Tepatnya, pintu kelasku eror. Eror di sini adalah--dia mendadak terkunci sendiri saat cowok-cowok di dalam kelas berganti baju usai olahraga. Alhasil, yang terjadi adalah kerusuhan. Para cewek menjerit-jerit sampai aku heran apakah mereka tidak kasihan dengan pita suara masing-masing. Sebaliknya, para cowok menggerutu kalau mereka nggak bisa keluar untuk jajan.

Beruntung kunci serepnya tidak hilang. Terimakasih pada bapak-bapak cleaning service, pintu bisa dibuka. Namun, gara-gara itu, anak-anak trauma menutup pintu terlalu rapat. Sekarang pintu kayu cokelat muda itu diganjal dengan salah satu paving block lapangan yang sudah lepas.

Kemudian, sore ini, ada kejadian langka lagi. Wali kelasku--pria tinggi berkumis--yang nggak pernah kusebut sebelumnya, karena nggak berkontribusi dalam hal apapun--mendadak berdiri di depan sebelum kami melesat keluar lepas bel pulang berdering--hari ini libur bimbel. Senyumnya lebar saat bicara. "Senin dua minggu, kita akan melaksanakan PAS disusul simulasi UNBK. Jadwal bisa diambil di meja saya. Jangan lupa belajar. Jangan membuat orangtua kalian malu dengan nilai merah. Mengerti?"

"MENGERTIII!" Hampir semua anak menggumamkan koor serempak. Bukan karena benar-benar paham, tapi lebih karena mau cepat-cepat pulang, kencan sama kasur atau ponsel. Lagian pengumuman tadi cuma basa-basi belaka, sekadar menunaikan tugas sebagai wali kelas. Beliau tersenyum formalitas, lantas melangkah keluar kelas. Nggak butuh waktu lama, lebih dari setengah anak-anak melesat keluar. Pulang. Lupa kalau disuruh mengambil jadwal di meja.

Menyeret kaki ke meja guru, aku mengambil kertas jadwal dan membacanya sepintas. Hari kedua Matematika, hari pertama Biologi dan IPS. Entah bagaimana sekolah ini mengharapkan murid-muridnya menghapal dua pelajaran yang bukunya saja setebal 3 jari masing-masing. Catatan Biologiku lumayan lengkap, tapi IPS itu lain cerita. Kemampuan bersosialisasiku mengenaskan, demikian pula nilai IPS, meski nggak sejelek Matematika.

Kertas itu kujejalkan di saku. Ibu bilang hari ini bakal menjemput karena kebetulan bosnya sedang dinas luar, jadi bisa pulang lebih cepat. Itu berarti, aku harus pulang bareng Mala. Bagian satu itu sudah awkward banget--ditambah Ibu berkata aku harus menjemput ke kelas Mala. Memangnya dia anak bayi?

Namun, mau nggak mau aku tetap melakukannya. Jadi sekarang aku melewati koridor depan kantin, lurus ke arah tangga yang berada di sebelah deretan kelas 7. Koridor di depan lumayan penuh oleh adik-adik kelas. Sebagian besar seragam mereka masih kebesaran. Ada beberapa yang tingginya hanya mencapai bahuku. Benar-benar kelihatan baru lulus SD.

Kelas Mala, 7B, dihiasi karton-karton bertuliskan kata penyemangat dengan lettering di dinding. Di plafon, ada banyak bintang dari kertas manila yang digantung menggunakan benang. Dua anak perempuan sedang mengurusi sampah, satu anak lelaki menghapus papan tulis; dua lainnya menyapu sambil menggerutu. Di kelasku juga begitu, cowok-cowok paling malas berurusan dengan piket. Pernah ada cowok yang menceletuk kalau bersih-bersih itu pekerjaan cewek; langsung dilempari buku.

Mala sedang mengobrol dengan dua tema n perempuannya, sembari membereskan buku dan alat tulis. Dia tertawa cekikikan, menyelipkan rambut di belakang telinga. Aku berdiri di ambang pintu, canggung, nggak tahu harus apa. Mau memanggil, tapi sungkan. Di satu sisi, aku nggak mungkin berdiri di sini terus ‘kan?

“Mala. Kakakmu bukan?” Teman cewek Mala yang berambut pendek berujar sembari menjawil bahunya. Mala menoleh, lantas nyengir lebar melihatku. 

“Ibu udah jemput ya, Kak?” Aku mengangkat bahu.

“Ke depan aja sekarang. Tunggu di depan. Aku nggak mau dipanggil pake pengeras suara,” jawabku datar sambil memasukkan tangan ke saku rok. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 lewat 10. Harusnya sebentar lagi Ibu menjemput.

Babak-Babak DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang