Adegan 6

240 40 5
                                    

Setahuku, 80 persen sekolah selalu mengadakan jam tambahan alias bimbel untuk murid-muridnya kalau mereka akan menghadapi ujian nasional. SMP-ku juga begitu--ada dua jam pelajaran bimbel yang harus kami diikuti setelah jam pulang. Di jadwal pelajaran harusnya kami pulang jam 15.15 setelah murid-murid beragama Islam salat Ashar, tapi gara-gara ada bimbel menyebalkan ini, murid kelas 9 pulang jam 17.00.

To be honest, aku nggak merasa jam tambahan itu ada gunanya. Kami dikotak-kotakkan kembali berdasarkan nilai try-out pertama--yang diselenggarakan di minggu kedua tahun ajaran baru, SIAPA SIH YANG SUDAH BELAJAR PAKET SOAL UNBK DI MINGGU KEDUA MASUK SEKOLAH? Kami harus ikut bimbel--nggak ada anak yang nggak boleh ikut, sekalipun dia sudah les di tempat lain.

Sisi baiknya, ada makanan gratis.

Jadwal hari Jumat adalah Biologi--sebagian anak kelas bimbelku mendengar guru dengan tampang bosan, sebagian lagi sibuk mencatat. 15 menit sebelum jam berakhir, guru Biologi menyuruh kami mengerjakan soal pemantapan bab reproduksi di buku latihan soal UN yang diberikan sekolah. Buku itu, omong-omong, tebalnya sekitar empat jari dan berat banget. Cocok buat jadi bantal.

Aku membuka buku latihan itu dengan malas, membolak-balik halamannya, lantas mengerjakan sambil melihat catatan di buku tulisku--yang amat berantakan dengan tiga warna pulpen dan cuma aku yang bisa memahaminya. Cowok-cowok di bagian kiri kelas tertawa super mencurigakan. Aku memutar mata mendengarnya. Materi reproduksi selalu menjadi sesuatu yang menimbulkan kikikan aneh, salahkan pikiran nggak-nggak mereka.

"Minggu depan, ada try-out evaluasi. Persiapkan diri kalian sebaik mungkin." Kelas rusuh begitu guru meninggalkan ruangan. Cowok-cowok memulai permainan kekanakkan yang sedang populer akhir-akhir ini di angkatanku--pesawat kertas. Kebanyakan bahannya dari kertas ulangan yang nilainya jelek. Segera, pesawat-pesawat itu berterbangan di kelas, menabrak beberapa kepala, dan menimbulkan pekikan nggak suka.

"Eh, Ra, jajannya mana? Kok belum dateng?" seru salah satu anak cowok pada Zehra.

"Ini ...." Zehra menghilang di balik pintu, lantas membawa masuk sebuah kardus, menghampiri satu persatu orang di meja masing-masing, memberikan susu kotak dan sebuah cupcake yang dikemas dalam kotak mika. "Maaf ya, telat, maaf ya, telat ..." Adalah kalimat yang ia ulang-ulang, termasuk padaku.

"Makasih," kataku, membuat senyum setengah. Zehra mengangguk, buru-buru membagikan ke anak lain. Ambawani punya tradisi jajan untuk bimbel. Setiap anak akan bergantian membawa jajan dengan jumlah tertentu untuk dibagikan. Biasanya jajan datang sekitar setengah empat dan kami makan sebelum bimbel dimulai, tapi tadi jajan dari Zehra datang terlambat. Di angkatanku, dalam satu hari, ada lima anak yang membawa jajan untuk kelas bimbel masing-masing. Karena kalau cuma satu anak yang membawa untuk satu angkatan--bisa bangkrut.

Aku berjalan keluar kelas, mencangklong satu tali tas sembari melangkah ke arah gerbang depan. Kalau nggak salah giliranku membawa jajan yang berikutnya dua minggu lagi. Ibu harus diingatkan. Sebetulnya jadwal bagi-bagi makanan ada di grup wali murid; aku sangsi Ibu sempat membukanya.

Kadang, saat aku nggak baru dimarahi Ibu, tak dapat nilai jelek, atau merasa "oke" (maksudnya nggak down), aku sering berpikir bahwa sikap abai Ibu bukan berarti dia nggak sayang. Mungkin ia hanya terlalu sibuk dengan urusan kantor, sampai nggak sempat ingat kapan rapot harus diambil, maupun apa yang nggak kusukai. Mungkin. Mungkin.

Meski selalu ada kemungkinan terburuk, bahwa aku--sebagaimana yang selalu dikatakan Nenek--merupakan mimpi terburuk Ibu, dan itu sebabnya Ibu nggak sayang padaku. Namun Aa pernah bilang kalau setiap orang pasti menyayangi anaknya. Hanya saja cara mengungkapkan kasih itu terkadang salah.

"Kepada Diana, kelas 9E, ditunggu ojek dengan plat ... di depan gerbang. Terima kasih."

Aku bergegas menuju gerbang.

Babak-Babak DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang