Adegan 5

239 47 15
                                    

who you are so courageous to judge, about a cry or a laugh?
because both can be real,
or just masks to protect.

-anonymous-

Mari kuberitahu sederet hal-hal yang kubenci.

Pertama, seafood. Sekadar informasi, nggak berarti aku alergi seafood. Kedua, tidur kemalaman karena itu cuma akan membuat bangun kesiangan dan dimarahi Ibu (lagi). Ketiga, baju baru, sebab gatal kalau dipakai. Keempat, diburu-buru durasi sedang mengerjakan sesuatu. Kebetulan, yang ini sedang terjadi.

"10 menit lagi waktunya habis." Guru Fisika kelasku berwajah lembut dengan rambut selalu diikat rapi. Siapa yang menyangka kalau beliau sadis sekali dalam memberi nilai? Tulisan jelek, susah dibaca waktu menjawab esai, padahal benar? Cuma dapat 2 dari 10 poin. Buatku yang punya tulisan cakar ayam berbentuk sandi rumput, 50 persen waktu ulangan digunakan merapikan huruf--makanya lembar jawabanku penuh coretan stipo, sisanya untuk berpikir. Guru ini juga on time sekali, ulangan selesai pukul dua siang, lewat satu menit mengunpulkan nggak bakal diterima.

Mati aku. Wajahku memucat melihat soal nomor delapan.

Dua buah muatan listrik memiliki besar 2 μC dan 5 μC. Jika gaya coulomb yang terjadi antara dua muatan tadi adalah 100 N, tentukan jarak pisah kedua muatan tersebut!

Aku benci hitungan. Aku lupa rumus kakikuremukremuk ini harus diapakan. Astaga. Astaga. Fisika, kenapa kamu harus ada hitungannya, kenapa waktunya sisa sedikit, kenapa--

"Lima menit."

Buyar sudah konsentrasiku. Aku mengenggam erat pulpen, berpikir keras. Hagi bilang, kalau Fisika, apa pun yang terjadi sama soalnya, tulis dulu apa-apa yang sudah diketahui. Lumayan dapat nilai upah menulis.

Oke. Muatan listrik itu q, jadi....

"Terus ini diapain lagi?" Aku berbisik, memandang lembar jawaban pasrah. Gawat, angka 100-nya kelihatan kayak 6. Aku meraba sisi kiri meja, tempat biasa menaruh stipo. Nihil. Kepalaku melongok ke kolong meja, tangan mengobrak-abrik kotak pensil. Nggak ada.

KE MANA BENDA KECIL LAKNAT ITU DI SAAT AKU MEMBUTUHKAN?

Oh iya, dipinjam Zehra.

"Sst, Zehra!" Kakiku menendang kursi di sebelahku. "Balikin stipoku!"

Zehra menoleh, meletakkan stipo merahku di meja dengan ringisan minta maaf. Aku menggeram, menekan stipo itu. YAH, HABIS!

"Waktu habis. Kumpulkan!"

Cowok-cowok menyeringai girang, buru-buru mengumpulkan dengan tahap meliputi: tersandung dan tersenggol satu sama lain saat serampangan berjalan, meletakkan lembar soal plus jawaban di meja guru, mengulangi tahap satu, dan tertawa sesampainya di kursi. Para cewek lain menghela napas lega, menaruh dua helai kertas putih dengan cara lebih beradab, berbaris rapi. Kulihat bahu Zehra turun. Sepertinya nilainya akan kepala lima lagi.

Aku melempar pulpen sembarangan, entah kena kepala siapa. Nanti pas piket saja dicari.

***

Salat Zuhur baru saja usai, tetapi masjid sekolah nggak langsung berangsur sepi. Cewek-cewek berbisik satu sama lain sembari melipat mukena warna-warni mereka. Cekikikannya pasti lebih lama ketimbang merapikan mukena. Ada juga yang melakukan salat sunah--seperti Zehra dan beberapa cowok yang kulihat di lantai satu sana. Tempat salat cewek di lantai dua, di mana kami bisa melihat empat saf terdepan cowok-cowok.

Aku suka posisi strategis dekat AC, saf keempat dari depan, di sebelah rak kayu yang merupakan tempat meletakkan Alquran. Angit mengekori posisiku sejak tahun ajaran baru. Cewek itu sedang melempit mukena--lempitannya rapi banget sampai aku bakal mengira diukur pake penggaris.

Babak-Babak DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang