Chapter 6

67 8 0
                                    

Tuan, bukan aku tak ingin mendekat
Hanya saja, aku mengerti engkau adalah orang yang mulia
yang menjadi impian para calon bidadari. Sedangkan aku masih sibuk memperbaiki diri.
Wahai Tuan, bukan aku tak ingin menerima
Hanya saja, aku terlalu takut karena aku tak pantas di sisimu
Aku terlalu kusam tak sebanding degan dirimu yang cerah karena dalam dirimu terjaga rapih kalam Allah..

Wahai Tuan Sang Malighai Cinta
yang kini tengah merangkak merangkai nama dalam hatiku
Jika sudi, sedikit saja matamu menari di atas larik kata agar engkau tau sebenarnya mengapa dan kenapa hingga saat ini raga dan jiwaku tak ikut bersemayam bersama rumah cinta yang tengah kau bangun.

Tuanku,
Jika engkau sudi, bertahanlah sejenak karena di sini aku tengah menanti hingga engkau hadir untuk menyapaku dan membawaku menetap...
Tuanku,
Aku menantimu...

-Memejam Sekejap-
@aisyadzahra


Serupa hujan menggelapkan suasana

Ku pinta jadikan kau cahayanya

Serupa gemuruh di langit mendung

Ku pinta kau menjadi melodi penghangat jiwa

Dan, serupa hujan yang berjatuhan di bumi

Kan ku jadikan diriku tanah, agar kau tak menyesal telah jatuh lagi, lagi, dan lagi


-Created by @aisyadzahra_

***

Matahari yang hampir hilang di akhir pagi dipandangi Ahmad hingga tertampak jelas. Matahari di pagi hari benar-benar indah, namun tidak dengan kisah cintanya.Desau angin pagi hari membelai pucuk rambutnya, jalanan sudah tampak sepi hanya terlihat di sebelah barat dekat rumahnya ada sepasang kekasih tengah berbincang di balkon rumah mereka. Hati Ahmad teriris sekeitika.

''Ahmad,'' panggil wanita paruh paya pada Ahmad yang berdiri di balkon kamarnya.

''Ada apa? tumben sekali kamu tidak menghabiskan waktu di masjid?'' tanya nya pada Ahmad lagi.

''Ahmad sedang ingin disini,'' jawab Ahmad sambil tersenyum.

Jika saja Ibunya tahu pasti ia akan mengerti bagiaman mengatasi putranya ini patah hati dengan menaruh harapan terlalu jauh pada selain Allah, dan pagi ini Ahmad teringat kegiatan paginya bersama Asyifa yang sudah pupus dan tak akan pernah tervisualisasikan.

''''Ibu, dimana bisa beli obat patah hati?''

''Obat patah hati..." Ibu menyeringai lucu. Tanpa sadar Umi tertawa mendengar pertayaan putranya.

''Ibu tidak tahu apotek mana yang menyediakan obat patah hati. Tapi satu hal yang Ibu tahu, tempat dimana obat patah hati yang kau cari itu ya di masjid, bukan di balkon kamar seperti ini.'' jawab malaikat tanpa sayap ini lengkap dan halus terdengar.

Ahmad bergeming, bibirnya terkatup rapat tingga tak satupun kata muncul dari bibir merahnya. Pandangannya kini menyendu pada matahari yang sudah bulat sempurna menandakan panas yang tiada redup seperti hatinya.

''Ahmad, setahu Ibu semua patah hati itu sama perihnya. Dan yang Ibu tahu, kamu pasti bisa menyembuhkannya. Kita punya Allah, yang punya banyak sekali obat di semua keresahan yang manusia ciptakan sendiri'' nasehat Umi sekali lagi.

Ahmad tersenyum mengangguk lalu setelahnya wanita paruh baya itu undur diri dan membiarkan Ahmad bersiap diri bekerja yang sudah menjadi rutinitasnya.

Memejam SekejapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang