1

9.9K 851 76
                                    


Pagi-pagi sekali, bising di luar apartemen membuat Jimin terusik. Seingatnya, memang ada satu unit kosong tersisa di lantai ini dan sial karena tepat berada di sebelah kanannya.

Jimin duduk dengan rambut dan raut kusut khas bangun tidur, mau bilang terganggu ya... tidak juga sih, hanya saja suara brak-brik-bruk barang itu cukup mengganggu paginya yang biasa tenang tanpa gangguan. Sudah jadi rahasia umum kalau kompleks apartemen yang berada di pinggiran seperti ini dipenuhi para pekerja yang membutuhkan sunyi sehabis memberdayakan diri di pusat kota, dan mendapati pagi harimu dikacaukan bunyi bising alih-alih kicauan burung artifisial sungguh membuat Jimin pening.

Bangkit sambil mengurut kening dan menyugar helai abu yang jatuh di dahi, Jimin membawa dirinya ke kamar mandi. Sedikit menyegarkan diri sebelum beramah-tamah dan mengawali pagi membantu tetangga baru sepertinya tidak buruk.

Atau, sekalian saja dia ambil cuti, ya? Karena jatah cuti milik Jimin masih tersisa banyaaak sekali, saking tidak punya keperluan lain yang bisa dia lakukan. Sepertinya lebih baik begitu, siapa tahu juga tetangga baru tengah kerepotan makanya berisik sekali?

Handuk bekas mengeringkan wajahnya Jimin kalungkan karena mendengar suara bel dan ketukan di pintu. Siapa yang mendatangi dia? Perasaan Jimin tidak memiliki pesanan apapun akhir-akhir ini.

Pintunya dibuka sambil menutupi kuapan, Jimin memang tidak terbiasa bangun pukul 6 di hari Sabtu karena perusahaan tempatnya bekerja beroperasi lebih lambat dari hari biasa. Sebuah sapaan terdengar waktu Jimin memejamkan mata karena menguap.

"Halo, selamat pagi," katanya begitu. Bariton tersebut membuat Jimin yakin jika tetangga barunya seorang pria. Bapak-bapak, mungkin? Habis suaranya berat sekali.

"Pagi...," balas Jimin sambil menunduk singkat, sebenarnya sekalian mengusap air di sudut matanya yang panas. Kalau mengantuk, Jimin memang begini, matanya bisa sampai meneteskan air dan sering membuat orang lain salah paham. Termasuk pria di luar apartemennya yang menyuarakan khawatir.

"Lo enggak apa?" Bahunya ditepuk, Jimin mengangkat wajah lalu bertatap dengan netra cokelat terang punya pemuda yang suaranya mirip bapak-bapak. Ia terpaku pada sesuatu di kerlingan serius penuh kalkulasi milik tetangga barunya. "Lo kenapa nangis?"

"Eh?" Jimin mengusap sebelah pipi dengan punggung tangan dan benar saja, ada likuid bening di sana. Kenapa dirinya menangis? "Ah, gak papa, ini gue masih rada ngantuk gitu semalam habis lembur di kerjaan." Senyum dipaksa terbit meski entah mengapa, Jimin merasa hatinya sakit. "Tetangga baru, ya?"

Pemuda di depannya mengulas senyum lega yang kentara, Jimin jadi sedikit malu karena sudah begini kepada orang asing. "Iya, ke sini mau minta maaf kalo bakal ngeberisikin, habisnya gak ada yang bantu gue bongkar muatan. Tadi sudah ke unit yang lain, tinggal ke sini yang belum."

Dia tampan, sungguh, tapi masih lebih tampan Jimin deh. Raut mukanya kaku, ada kerutan halus di pertemuan alisnya seakan pemuda ini berpikir terus. Tatapannya tegas dan penuh dominasi tapi tak seperti biasanya, Jimin tidak merasa takut ataupun gentar kala bertatap dengan kelereng cokelat terang miliknya.

"Gue bisa bantu lo beres-beres," pungkasnya.

Pemuda yang lebih tinggi dari Jimin mengulas senyum lebar, kali ini terlihat polos dan lembut seakan semua gestur kaku yang tadi dipunyai luntur entah ke mana. "Kalo begitu, makasih," tangan kanannya terjulur, "Omong-omong, gue Kim Taehyung." -

dear [VMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang