Sepertinya, isi kepala Jimin juga bergeser beberapa senti karena untuk sesaat, ia merasa jika senyuman Kim Taehyung yang itu sangatlah tidak asing.Ada sesuatu, Jimin yakin ada sesuatu yang Taehyung sembunyikan di balik permata cokelat terangnya. Atau pada raut lembut dan senyum halus yang sempat datang di wajahnya tadi. Kenapa ia sampai sebegininya memperhatikan orang lain? Terlebih, pemuda di depannya ini cuma tetangga baru yang belum 24 jam bertemu.
Kenapa ia tidak bisa lupa pada sorot bahagia di mata Taehyung tadi? Memangnya ada apa? Kenapa Taehyung tampak sebahagia itu hanya dengan melihatnya?
Jimin mengerjap kala merasai usapan halus di sebelah pipi. Kembali bertatapan dengan Taehyung makin membuatnya bingung. Halusinasinya saja, atau di sana tersemat kekhawatiran? Untuknya?
"Lo nangis lagi, Jimin." Taehyung menunjukkan punggung tangan, ada kilauan bening di sana. "Sekarang kenapa lagi?"
Mengulum bibir, Jimin mengalihkan matanya pada apapun selain wajah Taehyung karena ada rasa mendesak yang asing memenuhi pikirannya. Ia ingin menggenggam tangan yang lebih besar itu, menunjukkan kesungguhan secara langsung jika dirinya baik-baik saja. Ingin menegaskan pada Taehyung kalau ia tak perlu dikhawatirkan.
Tapi kenapa, kenapa, kenapa? Kenapa bisa seperti ini? Mereka baru bertemu, bukan? Lantas kenapa rasanya Jimin amat merindukan genggaman dari tangan Taehyung? Ia positif berhalusinasi karena tiba-tiba saja bayangan soal telapak tangan besar yang melingkupi miliknya melintas.
Tangan Taehyung dalam benak Jimin terasa hangat, otot menonjol di punggungnya menyenangkan sekali untuk diusap dan dirasai bedanya dengan kulit di sekitar. Genggaman Taehyung padanya terasa lembut, lalu lemah di kesempatan lain. Mencengkram erat seolah mencegah pergi, pun longgar seringan menggenggam pasir.
Matanya mendadak panas dan Jimin gegas mengedipkannya, mengusap aliran air yang sempat jatuh itu sambil membersit hidung. Ia kembali menatap Taehyung dan sorot khawatir di netra cokelat terang itu masih ada.
"T-tae," ucapan Jimin tersendat karena ia tiba-tiba terisak, "kenapa lo rasanya enggak asing sama sekali?" Jimin menghela napas sebentar lalu melanjutkan. "Masa barusan gue kepikiran pernah pegangan tangan sama lo... kan belum pernah?"
Belum sempat ia mencerna, telapak tangan kanannya seketika dilingkupi hawa hangat. Jimin memandang tautan tangan mereka dengan alis berkerut, setetes air mata jatuh lagi kala rasanya ia mengenal genggaman tangan tegas seperti ini. Dari Taehyung.
"T-tae." Kalut, Jimin terpaku pada tangannya yang tersembunyi diantara dua telapak tangan Taehyung. "Gue kenapa jadi mellow lagi? Lo apain gue?"
Taehyung mengusap punggung tangannya pelan-pelan, terasa nyaman sekali... dan mengusir rasa sedih yang menjerat dadanya tadi. Jimin mendongak waktu Taehyung mengeratkan genggaman. "Stop, jangan banyak ngelamun, Jimin. Ayo makan dulu. Mungkin elo low-bat karena baterenya abis."
"Yeu, elo nih." Ia tepis tangan Taehyung yang kini tengah tersenyum sama lembutnya dengan tadi. "Abisnya gue kepikiran...."
"Ya udah, makan dulu, mikir juga butuh tenaga, Jimin. Habis makan baru kita bahas lagi. Oke?" Jari kelingking Taehyung terangkat, Jimin pandangi jemari itu lekat sebelum melingkarkan jarinya sendiri ke situ.
"Janji ya?"
"Hm." Taehyung mengusak puncak kepalanya lagi sedang Jimin makin kebingungan karena tiba-tiba, ingin sekali rasanya menagih janji Taehyung. -

KAMU SEDANG MEMBACA
dear [VMIN]
FanfictionJimin jarang percaya mitos, rumor dan kisah klasik tempo dulu; semisal jatuh hati pada tetangga yang tinggal di sebelahmu. Pun, berjodoh kembali dengan orang yang pernah memilikimu di masa lalu. Tapi, siapa yang tahu? [Start: 161118, Finished: 06021...