Kita bertemu di persimpangan jalan. Saling menatap sewaktu ingin melewati zebra cross. Ketika mata saling beradu, saat itulah hati kami bertemu. Wajah yang sama yang dilihat bertahun-tahun lamanya, akhirnya menampakkan diri menjadi sosok yang dewasa.
Tit! Tit!
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan kami. Kita tak sadar bahwa kita berada di antara jalan penghubung. Entah itu penghubung masa lalu ataupun masa depan.
Aku sadar untuk tak boleh lagi tenggelam dalam masa lalu. Dia sekarang menjadi orang yang berbeda, walaupun aku tak yakin apakah perasaannya masih sama. Tapi tetap saja waktu tak bisa berhenti. Deretan mobil menunggu kaki kami melangkah maju meninggalkan zebra cross. Mau tak mau, kita harus saling berpisah. Tak apa kan jika berpisah? Toh kita tak lagi sama seperti dulu.
"Za." panggil gadis itu sesaat setelah aku mulai melangkahkan kakiku berjalan melewati jalanan itu.
Aku tak bisa menatap matanya lagi. Aku tak mau hatiku akan goyah, begitu mendengar suara seraknya terdengar lirih saat memanggil namaku.
Aku berjalan lagi, dan tak menghiraukan ucapannya yang menyuruhku untuk berhenti.
"Za." gadis itu berhasil menahan tanganku. Mencoba agar kakiku berhenti melangkah dan menoleh kepadanya lagi.
"apa?"
"kamu akan kemana? Kita belum menepati janji kita waktu itu. Kalau kamu pergi bagaimana janji itu terlaksana?" aku tahu, suaranya mengeras saat menanyakan hal itu. Kepanikkan terpampang jelas diwajahnya. Dan aku tahu itu.
"aku akan pergi, mengucapkan pada negara bahwa salah satu penduduknya akan pergi mencari tempat untuk berlabuh. Tak ada yang salah kan, bila hanya satu penduduk yang pergi? Lagipula masih banyak penduduk yang bisa menetap di negara ini. Kau tak perlu cemas bila aku pergi. Sekalipun negara ini tempat aku pulang, maka aku akan tetap pulang." aku berucap sedemikian panjangnya. Berharap agar sang pendengar bisa menghargai keputusanku dengan baik.
"lalu bagaimana jika kamu tak kunjung pulang?" nada khawatir masih terdengar jelas dari getaran suaranya, membuat aku tak tahu lagi bagaimana membujuk gadis itu.
"aku pulang atau tidak, itu masih menjadi hal yang tak pasti. Kamu jangan tunggu aku bila aku tak kunjung kembali, barangkali aku sudah nyaman di tempatku berlabuh, atau barangkali juga aku sudah pergi meninggalkan semesta. Hiduplah seperti bagaimana kau menjalaninya. Kau juga tak butuh aku untuk mendorongmu ke tempat yang membahagiakan. Kau bisa bahagia sendiri, dengan hal yang kau lakukan sendiri." aku berdoa dalam hati, berharap tuhan mengabulkan doaku kali ini. Berharap agar tak ingin berlama-lama lagi berada di dekat gadis itu. Berharap agar gadis di depanku tak mendengar deru suara jantungku.
"jika aku bilang aku butuh kamu bagaimana? Jika bunga membutuhkan air, apakah kau ingin membiarkannya saja sampai bunga itu layu? Za, aku ingin kamu paham posisi aku. Jika semua hal ini selesai, aku akan kembali. Menggenggam tanganmu begitu erat sampai tak ada lagi yang mampu melepaskannya. Aku tak mau kamu pergi, Za. Jika kamu pergi, tangan mana yang akan aku genggam?" gadis di depanku menggenggam lembut tanganku. Mencoba meyakinkanku dengan perkataan yang lagi-lagi membuatku goyah. Tapi, aku sudah memantapkan hatiku.
"maaf, Ca. Aku harus pergi. Aku harus ke bandara sekarang." hanya ini alasan satu-satunya yang aku pikirkan. Maaf ya, Ca.
Aku memutuskan melanjutkan langkah kakiku. Mencoba menjauh dari hal yang tak seharusnya aku dekati
"Za."
Kapan dia akan menyerah? Tanyaku dalam hati.
Aku tak menoleh menatap gadis itu. Cukup sudah. Kalimat yang ingin diucapkan sebelum perpisahan, akhirnya sudah terucap. Apalagi yang akan dibicarakan?
"apa sejak awal memang sudah tidak ada harapan?"
Aku menggeleng.
"apa hari-hari yang kita lewati bersama tak ada artinya?"
Kali ini aku diam tak menjawab. Jika bilang tak berarti, rasanya itu adalah kebohongan terbesar yang aku ucapkan.
"oke, kalau kamu milih kayak gitu. Aku gak akan tanya apa-apa lagi. Sudah cukup untuk semuanya. Terima kasih untuk hari-hari yang telah kita lewati. Aku pamit."
Setelah kalimat terakhir itu, entah kenapa kepalaku bergerak sendiri. Menoleh ke arahnya yang semakin menjauhkan jarak. Yang hanya terlihat punggungnya saja. Aku merasa ini adalah keputusan yang tepat. Walaupun hatiku berkata lain.
---
Kadang tanpa bersama pun kita masih bisa saling mendoakan. Dan di hari-hari terakhir ini, aku berdoa pada tuhan untuk membiarkanmu bahagia tanpa ada aku disisimu. Kamu berhak bahagia, dan untuk itulah aku ingin mengembalikkan kebahagiaan yang pernah kurebut darimu. Aku takut jika pada akhirnya kita saling membenci, maka untuk itu aku memilih jalan melepaskan. Walau hati berbisik ingin bersamamu lebih lama lagi, aku tetap harus berkemauan kuat untuk melepasmu. Melepasmu dari rantai-rantai masa lalu. Dan untuk itulah, aku siap mengorbankan apapun demi bisa mengembalikkan sesuatu yang bukan milikku padamu.
Jadi, aku harap kamu bisa bahagia ya Ca?
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Terakhir Untuk Misha
Teen FictionMisha Gisella Tyanala Deranata, sang ketua osis di Golden High School yang di kagumi banyak orang. Kecantikannya selalu meluluhkan hati kaum adam, sampai-sampai sudah tak terhitung berapa banyak kaum hawa yang merasa iri dengan apa yang dimiliki Mis...