STUM #7 : Malam Dibalut Kenangan

9 3 0
                                    

“begitu berartinya kenangan, saat seseorang pergi tanpa berucap pamit.”
—Surat Terakhir Untuk Misha.

----

Minggu pagi yang tenang.

Setidaknya, itu yang Misha pikirkan sebelum ia yang tengah santainya berlari pagi di sekeliling komplek, tapi tiba-tiba bertemu dengan orang yang paling tidak ingin ia temui.

Dan tentu saja, siapa lagi kalau bukan Yozra.

“hai kakak Misha yang cantik, nggak capek lari-lari mulu?” dengan tampang polos tanpa dosa, Yozra ikut berlari di samping Misha dengan santai. Walau Misha sendiri tak tahu bagaimana laki-laki itu bisa sampai disini.

“kamu nggak punya kerjaan ya? Sana! Kalau mau lari pagi jangan di dekat aku, cuma liat muka kamu aja udah bikin kesel.”

“ih kok gitu sih? Orang aku cuma mau deket-deket kak Ica aja kok.”

“justru itu aku nggak mau dekat-dekat sama kamu. Sana, cari tempat lain!”

“masih pagi lho kak, gak boleh nolak rejeki.”

Mendengar ucapan blak-blakan Yozra, lantas Misha langsung menghentikan langkah kakinya. Membuat Yozra yang sudah berlari maju ke depan ikut terhenti karenanya.

“kenapa kak? Ada masalah?”

“ada. Masalahnya di kamu.”

“aku? Aku kenapa emang?”

Misha menarik napas dengan kesal. “bisa nggak sih jangan ganggu aku terus? Aku juga pengen sendiri. Aku butuh privasi.” entah keberuntungannya yang berkurang atau memang kesialan yang akan menghampirinya, Misha jelas tahu bahwa ia tak boleh berdekatan dengan laki-laki asing satu ini.

“kalo bahas soal privasi kakak, aku nggak akan ikut campur. Tapi biar begitu kakak harus tepati janji kakak dong!” serunya sambil mengerucutkan bibirnya yang baginya sendiri terasa lucu, tapi tidak dengan Misha.

“janji yang mana? Seingatku aku nggak pernah buat janji apalagi sama orang kayak kamu.”

“kakak udah janji buat izinin aku deket sama kak Ica sekarang. Jadi, kalau aku mau buat kak Ica suka sama aku, kakak nggak akan larang kan?”

Sungguh menyesal akan perkataannya dua hari yang lalu, dan sekarang Misha tak tahu harus melakukan apa untuk menarik kata-katanya itu. Jika seandainya ia tak bersemangat karena baru saja mendapat telepon dari Elang, mungkin saja dia tak melontarkan kalimat yang tak seharusnya dia ucapkan.

Misha menggeleng lemah, pasrah akan keadaan. “terserah kamu saja.” katanya sebelum ia melanjutkan lari paginya yang sempat tertunda.

Mata Yozra berbinar. Langkah kakinya ikut tergerak juga, menyelaraskan langkah kakinya dengan Misha walau ia harus ikut berlari sekalipun. “tumben kak Ica pasrah gitu aja? Biasanya ngelawan.” tanyanya sambil terkekeh pelan.

“lalu kamu maunya gimana? Aku udah ikut apa kemauan kamu karena kebodohanku sendiri. Dan kalau kamu menyesal karena sudah mau mendekati aku, maka silahkan menjauh saja. Aku nggak mau membuang waktu pada hal yang tidak berguna seperti ini.” ucap Misha.

“...”

Misha merasa aneh. Apakah perkataannya terlalu kasar? Setelah apa yang ia ucapkan, masih tak ada sahutan dari Yozra. Laki-laki itu diam seribu bahasa sambil ikut berlari dan memandang lurus jalanan di depan dengan tampang serius. Itulah yang Misha lihat saat ia membiarkan ekor matanya melihat Yozra disampingnya.

“kenapa diam? Perkataan aku kasar ya?”

Yozra tersenyum sinis sambil sesekali tertawa kecil. “bukan gitu.”

Surat Terakhir Untuk MishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang