STUM #8 : Murid Baru

4 2 8
                                    

jika matahari bisa terbit, maka matahari juga bisa untuk terbenam. Meski harus melupakan segala hal yang terjadi demi menunggu dirinya untuk terbit kembali.”
—Surat Terakhir Untuk Misha.

----

“aiihh..” gumam Misha saat matanya saling bentrok dengan Yozra. Dan sepertinya Misha merasa semakin yakin, takdir sungguh senang membuat dirinya kesal.

“pagi kak!” dengan telapak tangan terangkat dan jari-jarinya menyentuh dahi,Yozra berpose ala hormat pada ketua osis itu. “seperti biasa, kak Ica terlihat lebih cantik hari ini. Apa ada skincare bagus yang sering kak Ica pake buat semakin glowing? Kalau ada kasih beberapa tipsnya ya! Adekku jeleknya bukan maen kalau abis putus dari mantan-mantannya. Jadi banyak jerawatan gara-gara stress.” kata lelaki itu sambil terkekeh pelan.

Padahal pintu depan kelas XII MIPA 1 cukup ramai dengan geng Butterfly yang biasanya menongkrong disitu. Tapi sepertinya hari ini mereka minggat sebab diusir Yozra. Semua terlihat jelas saat mereka duduk di pojok belakang kelas sambil menatap Misha dengan sinis dari jendela.

Misha menatap tanpa ekspresi. Sedikit mendiamkan lontaran pertanyaan Yozra, kemudian ia mengambil pena dari saku kemejanya. Memang, itu kebiasaan Misha. Supaya tidak perlu repot-repot mencari pena yang sudah hilang, atau ia letakkan di sembarang tempat.

“mana tangan!” tukas Misha sambil mengulurkan tangan.

Yozra memberikan tangan kanannya dengan cepat. Alih-alih berharap Misha menggenggam tangannya, Misha justru hanya memberikan penanya.

“tulis sendiri di tangan kamu.” kata Misha.

“hah?!”

“tulis aja.”

“loh? Kok?” gumam Yozra bingung.

“udah tulis aja, jangan kelamaan. Jam pertama bentar lagi mulai.” ucap gadis itu sambil sesekali melirik jam tangan.

Yozra meraih buku salah satu siswa yang kebetulan lewat dengan paksa, dan bersiap menulis apa yang akan Misha katakan. “ya udah, nulis apa?” tanyanya.

“satu, mulai hari ini, kamu aku izinin kamu buat ketemu aku cuma saat jam istirahat atau saat kegiatan osis saja, disaat lain aku bakalan acuhin kamu. Kedua, nomor WA aku 0812XXXXXXXX  jadi kamu nggak perlu repot-repot nyari-nyari aku. Tapi, jangan berharap aku bakalan balas saat itu juga. Dan jangan ngespam, atau aku block nomor kamu saat itu juga. Ketiga, aku biasanya menghabiskan waktu di perpustakaan atau di ruang osis. Jadi kalau jam istirahat mau cari aku, cari aja di dua tempat itu. Dan keempat--”

“panjang bener...” gumam Yozra yang sedikit terdengar di telinga Misha.

“masih mau di dengerin apa nggak?!!” tukas Misha sambil menghela napas—jenuh dengan tatapan murid-murid yang berlalu lalang.

“iya iya..maaf, lanjutin aja.”

“keempat, aku janji nggak akan bahas Elang lagi di hadapan kamu. Karena aku juga nggak nyaman ngomong ke orang lain tentang privasi aku terlebih untuk orang asing seperti kamu. Kelima, kamu nggak boleh ikut campur di hidup aku karena kehidupan aku terlalu rumit dan berbahaya buat kamu. Dan terakhir, aku nggak pake skincare apa-apa. Jadi jangan tanya ke aku lagi hal-hal konyol kayak gitu.” ucap Misha sambil melangkah masuk kelas.

Jujur, sedikit menyakitkan saat Misha berucap bahwa mereka hanyalah sosok asing yang seharusnya tak saling bertemu. Padahal Yozra mengingat dengan jelas, bahwa anak kecil yang cengeng itu sekarang berubah menjadi gadis dewasa dengan sifat dingin yang mengelilingi setiap kehidupan dan kepribadiannya. Yozra ingat jelas air mata anak kecil itu yang selalu keluar saat menerima tamparan telak di pipi atas perlakuan kasar kedua orang tuanya. Dan sepertinya, kehidupan gadis itu tidak berubah. Hanya sifatnya saja yang berubah.

Surat Terakhir Untuk MishaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang