Part 16 - Your Beautiful Eyes -

28 5 2
                                    

Sore yang mendung. Semendung otak William yang sudah terlalu banyak terkontaminasi oleh racun alkohol. Remaja dengan usia 19 tahun, yang tiap harinya ia habiskan untuk merusak dirinya sendiri. Bukan niatannya, sebenarnya. Karena dengan William merusak dirinya sendiri maka sama saja ia telah merusak masa depan ayahnya, iya... Ayahnya yang sudah tak memperdulikannya lagi. Bahkan sejak lama.

Madu yang diteteskan wanita sialan itu, yaa... Sekarang dia telah menjadi pemilik tahta baru untuk ayah William dan juga sebutan baru untuk William, ibu. Bukan ibu kandung William, melaikan ibu tiri. Yang seharusnya, wanita itu masih sangat pantas menjadi kakak William. Karena usia mereka hanya terpaut 6 tahun saja.

Gila... Laki-laki memang bisa gila jika sudah bertemu wanita. Bahkan kegilaan itu bisa menjabut kewarasan dan nurani ayah William hingga keakarnya. Itulah yang selalu dipikirkan William.

Semakim William mabuk maka semakin marah ayahnya. Tak pelak kadang pukulan demi pukulan William terima. William begitu senang saat menangkap aura kemarahan dan kekecewaan yang terpancar dari ayahnya atas perilakunya. Walaupun rasa senang itu harus William tebus dengan luka disekujur tubuhnya.

"Hanya begini saja rasa pukulanmu?." ucap William lirih. Bibirnya tersunging puas. Tangannya menyeka darah segar yang mengalir disudut bibirnya.

"Kurang ajar kamu.... "

Pukulan ayahnya mendarat lagi dipipi William. Membuat darah yang keluar dari ujung bibirnya semakin banyak. Pukulan ayahnya sama sakali tidak menyakitinya. Hatinyalah yang semakin sakit. Seperti luka yang disiram cuka, perih tapi nelangsa. Tak mengapa walau sakitnya meradang hingga menembus ulu hati, jika itu mampu membuat ayahnya semakin kecewa dan marah padanya.

Setelah puas menghajar William, ayahnya meninggalkannya begitu saja di kamarnya. Dengan tatapan nanar, William melihat punggung lelaki yang sangat ia benci menghilang bersamaan dengan dentuman keras pintu kamarnya yang ditutup oleh ayahnya dengan emosi.

Alih-alih kesakitan, William malah tertawa keras hingga rahangnya leboh sakit dari sebelumnya. Ia menertawakan kehidupannya sendiri. Kehidupannya yang telah hancur. Kehidupan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya akan sekelam dan sesepi ini.

"Aku merindukanmu, ibu". William mengusap lembut foto ibunya. Dadanya sesak. Merasakan kerinduan yang dibalut kesepian yang amat mendalam. Dipeluknya bingkai foto itu dengan sangat erat. Menumpahkan kerinduan hanya dengan memeluk foto usang sang ibu.

"Aahh... Sudah habis". Dengan sedikit mabuk William meletakkan botol minuman kerasnya yang telah tandas. Tak ada setetes alkoholpun yang bisa ia teguk. "Sial...!". Gerutunya dengan sangat kesal karena itu adalah botol terakhir yang bisa William sembunyikan dari ayahnya.

Dengan langkah goyah, William menyambar kunci motornya yang tergeletak di atas nakas dekat tempat tidurnya. Kewarasannya memang tidak lagi bisa dikatakan 100% tapi kewaspadaannya masih tinggi. Terbukti dia melangkahkan kakinya secara perlahan agar kepergiannya tak dipergoki oleh lelaki yang paling ia benci, ayahnya. Bukannya karena takut, tapi William tak mau memperlambat waktunya untuk bisa meneguk kembali alkohol. Tetesan air yang mampu menghilangkan sakitnya, walaupun hanya bersifat fatamorgana.

*****

"Kenapa lo gak ngelawan, Bro?", tanya Mathiew pada William setelah menengguk segelas sloki alkohol.

"Gue sedang melawan. Lo gak bisa melihatnya? Sial!!!", jawab William sembari menuangkan kembali alkohol ke gelas slokinya.

"Bisa mati lo kalo kayak gini terus".

"Itu tujuan gue. Biar dia tahu rasanya hancur itu kayak gimana".

Jam dinding ruko Methiew, tepatnya ruko milik orang tuanya telah menunjukkan 22.30 WIB. Masih sangat sore menurut William tapi Methiew menyuruhnya untuk segera pulang karena 3 botol alkohol sudah menemaninya hingga hampir mabuk. Ditolaknya mentah-mentah, William merasa masih kuat jika harus menghabiskan beberapa botol lagi. Dengan tegas Methiew menyuruhnya berkali-kali untuk angkat kaki karena orang tuanya sebentar lagi pulang dari Macau, perjalanan bisnis jual beli furniture. Methiew tidak mau jika kelakuan nakalnya terendus oleh kedua orang tuanya.

Journey Of Diara -  Beautiful Patience Is Struggle For Jannah - Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang