Part 15 - Flash Back-

14 3 0
                                    

Assalamuallaikum...
Maafkan saya ya teman-teman lama sekali tidak update...
Heheheee...

Bukannya tanpa alasan ya teman #senyum...
Karena di grup literasi yang saya ikuti sedang memberikan tugas pada saya (aslinya tugas sudah dari lama, tapi saya sendiri yang menggantungkannya hingga dateline yang sudah meveeeettt...). Jadilah saya memeras otak #uhuk.

Alhamdulillah semua tugas sudah saya selesaikan. Untuk hasil??? #entahlah... Heeheee....

Sekarang waktunya Diara dan William unjuk diri yaaa....

Selamat membaca...

*****

"Nih...". Bungkusan paper bag kecil warna coklat jatuh tepat di meja kerja William.

"Aku gak mau masuk penjara hanya karena luka kecilmu. Obati. Aku rela masuk penjara jika tadi nyawamu berakhir ditangaku. Sayangnya... Nyawamu masih menempel kuat. Siall...!!!". Kekeh Ajun di depan William. Dia duduk tepat di depan William.

William hanya menatap ajun. Masih mengabaikan bungkusan obat diatas mejanya.

"Sorry, Dude, ... Aaauuhh."Suara aduhan pun keluar dari mulut William tatkala dia merespon pernyataan Ajun.

"Ciihh... Dasar Bajingan. Obati sana lukamu. Kurasa tanganmu tadi tidak sampai patah jadi masih berfungsi normal. Jangan sampai tanganku yang bergerak, pasti habis mukamu itu...." Ucapnya kembali sambil sedikit memajukan badannya mendekati tubuh William yang masih bersandar di kursi kerjanya.

"Heeemmm...". Jawab William sekenanya. Karena menahan rasa sakit di depan Ajun adalah prioritasnya. Tak mau dicap sebagai lelaki yang cengeng hanya karena beberapa luka lebam hampir disekujur badannya.

Selesai mengobati luka sobek dibeberapa bagian wajahnya, William berdiri dengan susah payah menahan sakit diulu hatinya. Dia berjalan menuju sofa dibagian samping meja kantornya.

"Maafkan aku, Bro". Ucap William saat dia sudah memposisikan letak duduknya dengan nyaman.

Ajun berjalan mendekati William. Dia mengambil duduk disebelah William. Sebatang rokok dia keluarkan namun urung disulutnya dengan pemantik api karena Ajun menyadari bahwa saat ini dia sedang di dalam ruangan yang berpendingin. Diletakkannya kembali rokok dan pemantik apinya di meja.

Ajun menjatuhkan punggungnya disandaran sofa panjang berwarna hitam itu dengan kedua kaki yang ia letakkan di atas meja. Saat ini tidak ada batasan antara Bos dan anak buah. Di ruangan saat ini, hanya ada dua orang sahabat yang sedang berusaha mengurai pintalan benang kusut yang sudah terlalu lama terendam air. Butuh waktu dan hati yang jernih untuk menyelesaikannya. Tanpa dicampuri ego yang masih memanas.

"Ceritakan... Ceritakan semuanya dari awal. Tanpa ada yang kau tutupi". Suara Ajun memecah kesunyian dalam ruangan itu.

William mengubah posisi duduknya sama seperti Ajun. Dua kancing atas kemejanya ia lepas. Mungkin menceritakan kejadian terkutuk itu membuat suhu tubuhnya naik beberapa derajat hingga tanpa sadar William membuka kancing kemejanya.

"Eehhheemmmm...". William mengatur suaranya. Tenggkrokannya begitu kering hingga suaranya nyaris hilang.

"Kalau sampai ada yang kau tutupi. Tamatlah riwayatmu. Tak peduli nanti statusku akan menjadi seorang pesakitan di jeruji besi. Ingat itu...". Ancam Ajun sekali lagi.

"In syaa Allah tidak ada yang aku sembunyikan darimu", jawab William penuh dengan kemantapan. Mata mereka saling memandang beberapa saat. Kemudian mereka mengalihkan pandangan menatap dinding kosong dihadapan mereka.

"Bismillah...
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي
‘Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii’.
[Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, (QS. Thoha: 25-28)]".

William merapalkan do'a tersebut dalam hatinya. Berharap Allah selalu memberikannya kemudahan dalam menceritakan semuanya pada Ajun tanpa ada dusta lagi.

*****

FLASH BACK ON

Pebruari 2003

Ini adalah pertengkaran sejuta kalinya yang didengar dan dilihat oleh William. William sudah jengah dan lelah melihat semuanya. Terlebih, papanya suka main tangan kepada ibunya. Sudah tak terhitung lagi William mencoba melerai bahkan melindungi ibunya agar tidak kena hajar sang papa, Albert Hans. Namun semua usahan William sia-sia. Bahkan tak jarang dia pun juga kena bogem mentah sang papa.

Wajah ibu Esih lebam dimana-mana, sudah hilang paras ayu nya karena tertutupi oleh memar-memar oleh ulah suaminya sendiri. Anehnya, ibu William tetap saja masih mencintai dan mengharapkan Albert yang sudah berubah wataknya karena perempuan lain. Iya... Selingkuhan tepatnya. Semua karena orang ketiga.

Berulang kali William meminta ibunya untuk mengakhiri pernikahan bak neraka itu bagi ibunya. Tapi... Saran William selalu ditolaknya. Karena cinta dan hatinya sudah tertambat dan dibawa seutuhnya oleh ayahnya, itulah alasan yang selalu ibunya ucapkan berulang kali.

"Karena... Hati dan cinta ini sudah dibawa seutuhnya oleh papamu. Jika aku pergi... ", ibunya menghela napas. "Maka... Hidup ini pun tak akan ada artinya lagi. Bisa melihatnya setiap hari adalah kebahagian bagiku, Nak." Tatapan teduh Ibu Esih ketika membelai lembut puncak kepala anak semata wayangnya, William. "Walaupun hati ini sakit jika menyadari sudah tak ada cinta lagi untukku. Namun, akan lebih sakit lagi jika aku berpisah dengannya." Air mata ibu Esih keluar begitu saja tanpa permisi. Punggung jari William menyeka bulir air mata orang yang paling dicintainya. Walaupun William tidak bisa memahami jalan pikiran sang ibu, William selalu ada dipihak ibunya.

Malam itu, Jakarta diguyur hujan sangat deras. Petir mergemuruh. Seolah-olah ingin menutupi jejak pertengkaran di keluarga William dari telinga para tetangga William.

Baru saja memasuki gerbang pintu rumahnya, William disuguhi oleh pemandangan yang tak layak perbuatan tersebut dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia. Dengan penuh amarah, papanya memukul sang ibu dengan tongkat golf dengan membabi buta. Syetan sudah menutup pintu hati laki-laki berusia 49 tahun itu. Adegan demi adegan ia lihat seperti melambat dimatanya. Dilihatnya sang ibu yang lemah tak berdaya membalas pukulan suaminya. Hanya memegangi sebelah kaki Albert seraya memohon ampun yang diiringi tangisan bercampur rintihan kesakitan.

Dengan refleks, William memukul bahu papanya dengan helm yang masih ia pegang. William tidak terima atas perilaku biadap papanya itu. Terjadi adu saling pukul antara anak dan ayah di teras rumah mereka. William pun tak luput dari serangan sang papa. Luka fisik tak ia hiraukan. Karena luka batinnya lebih nyeri dan perih.

Albert pergi meninggalkan istri dan anaknya yang sedang saling berpelukan. Melihat papanya pergi, ibunya histeris dan ingin mengejarnya. William melarangnya, namun cinta buta sang ibu tidak bisa ia lawan. William kalah telak jika sudah menyangkut perasaan ibunya. Dengan tergesa-gesa, ibunya menaiki motor matic William yang terparkir di depan rumah. Mengejar sang suami dalam derasnya guyuran hujan.

Di malam itu pula, Allah memanggil ibu Esih untuk selamanya. Kecelakaan lalu lintas, itu adalah penyebabnya.

Semenjak kepergian sang Ibu. William menjadi remaja yang jauh dari agama. Dia menjadi tak terkendali, cenderung bebas dan tak mermoral. Sekolahnya jadi terbengkalai, padahal dia adalah siswa dengan otak yang cemerlang. Semua William lakukan semata-mata sebagai bentuk protesnya kepada sang papa. Dan William selalu menyalahkan papanya atas kepergian ibu tercintanya.

Pergaulan William kian tak terkendali setelah papanya menikah lagi dengan wanita selingkuhannya. Tepatnya 2 bulan setelah kepergian ibunya. Membuat hati William kesal dan diliputi amarah. Karena belum juga kering tanah kuburan ibunya tapi dengan sangat mudahnya sang papa menikah lagi, seperti tidak ada duka sepeninggal ibunya.

Alkohol adalah teman sejati William. William melalui hari-harinya tanpa absen menenggaknya. Bahkan sebelum ia melakukan hobi skateboardnya, William meminum minuman laknat itu. Seperti tidak ada yang William takuti, bahkan aturan agama pun berani ia langgar terang-terangan. Itu sebagai wujud kecewanya kepada ketetapan Allah atas takdir yang menimpanya.

Journey Of Diara -  Beautiful Patience Is Struggle For Jannah - Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang