Part 11 - Surat William -

21 4 0
                                    

Diara POV

"Alhamdulillah..." kujatuhkan tubuh yang masih lusuh ke kasur yang empuk. Aroma gardenia dari diffuser yang kunyalakan sedari masuk kamar menyeruak ke seluruh ruangan. Memenuhi setiap inchi ruangan. Sangat mendominasi, tapi aromanya mampu mengendurkan urat-urat syarafku yang tegang.

Perjalanan Bandung - Jakarta via toll yang super duper macet menguras energi dan mengakumulasikan tingkat stressku selama di Bandung. Kalau orang lain ke Bandung untuk melepas penat, beda denganku. Bagaikan serbuk besi yang menempel erat pada kutub magnet. Seperti itulah ibarat penatku yang kini kurasakan.

Pulang dengan pesawat atau kereta api adalah pilihan awalku tapi apa boleh buat... Keluarga pak Tomo (penanggung jawab baru di perkebunan) menawariku untuk bareng bersama mereka. Keluarga pak Tomo begitu menyenangkan dan kedua putri kembar kecilnya membuatku susah untuk menolak tawaran mereka. Aku sangat mencintai kedua gadis kembar yang kini baru genap 2 tahun.

Sangat bersyukur karena selama di Bandung, kedua gadis kecil dan lucu itu selalu menemaniku. Mengusir bosan yang kadang menghinggapiku.

***

Setelah selesai ritual mandi dan berendam. Diara langsung menunaikan sholat dzuhur. Setelah memutuskan untuk berhijrah, dia kini menjadi lebih bisa khusuk dalam beribadah. Menikmati setiap gerakan sholat.

Perubahan pada diri Diara membuat ibu dan abangnya gembira. Terlebih lagi sahabatnya, Martha.

Selepas sholat, Diara turun ke bawah dan menikmati masakan ibunya. Entah kenapa... sejak keberangkatannya ke Bandung 4 minggu yang lalu, sikap ibunya menjadi berubah. Lebih perhatian dari biasanya, tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi masalah jodoh. Biasanya dalam seminggu, selalu ada bahasan topik yang paling menyebalkan, yaitu jodoh.

Memang diakuinya, diusia 31 tahun dimana semua teman-teman sebayanya sudah banyak yang menikah dan rata-rata sudah memiliki anak mencuatkan keinginan bagi Diara untuk menemukan pelabuhan terakhirnya. Tapi... Kelamnya masa lalu tak dapat ia pungkiro masih menjadi momok yang begitu menakutkan untuk Diara.

Diara begitu paham jika ibunya selalu mengingatkannya untuk segera melepas masa kesendiriannya. Bukan salah ibunya, karena Diara paham betul jika ketidakjujuran Diara perihal masa lalunya kepada wanita yang paling ia cintai itu semata-mata karena tidak ingin sang ibu menjadi sedih. Jadi setiap saat jika ibunya selalu menanyakan kapan ia menikah, Diara tidak akan pernah marah atau terusik.

Setelah selesai menyantap balado ayam kesukaannya. Diara merebahkan kepalanya di pangkuan sang Ibu. Mensesapi aroma khas ibunya, membuat Diara menjadi lebih relaks. Jauh lebih relaks saat berada dipangkuan ibunya jika dibandingkan dengan aroma segar nan wangi essential oils gardenia yang terpancarkan dari diffuser di kamarnya tadi.

Percakapan ringan dan candaan mereka lontarkan. Gelak tawa memenuhi seisi ruangan keluarga berukuran 4x5 meter itu. Hingga lelaki satu-satunya penghuni rumah itupun keluar dari kamarnya. Iyaa... Bang Ajun.

Lelaki usia 34 tahun itu ikut duduk disofa yang menghadap ke televisi layar datar ukuran 42 inchi. Menjahili adik semata wayangnya adalah kebiasaan yang tidak bisa ia lewatkan. Apalagi sudah sebulan mereka tidak bertemu.

"Lihat nih dek", sambil menyodorkan ponsel pintarnya ke Diara.

"Kenapa bang?" melihat satu foto diantara ratusan foto di galeri ponsel abangnya.

"Itu... Lihat paling kiri. Dia teman kantor abang. Anaknya soleh, baik dan yang jelas dia jomblo. Sama kayak kamu...", kekeh abangnya sembari mencomot 1 potong brownis buatan sang ibu.

Journey Of Diara -  Beautiful Patience Is Struggle For Jannah - Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang