2. Surat buat Sabrina?

353 77 25
                                    

Berkali-kali hela nafas. Sabrina mendengus kesal menatap guru pemateri di depan sana.

Hari kelima MPLS telak membosankan. Ada kalanya dirinya mengutuk guru yang membuat kebijakan MPLS diadakan seminggu (pengecualian hari sabtu).

Sedangkan di sekolah lain hanya dilangsungkan selama 3 hari.

Gerutuan dan umpatan telak ditujukan pada waka kurikulum di depan sana yang tengah memberikan materi yang entah apa; masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Menoleh ke arah kanan. Mendapati Wildan yang tengah menguap di barisan belakang anak Animasi. Dan Thalia yang tengah memotong kukunya di barisan belakang anak Multimedia.

Balik menoleh ke arah kiri. Mendapati Genta yang ikut duduk di bawah bersama anak barisan paling belakang jurusan Produksi. Terlihat tengah mengajak mengobrol.

Buat kali ini Sabrina masa bodoh saja.

"Sekian dari saya—-"

Alhamdulillah, kenapa gak dari tadi anjayy.

"Bri! Ini gimana anjirr, waktunya gak sesuai sama rundown. Mundurin jam pulang apa kurangin jam ishoma?"

Sabrina berjengit kala Thalia tiba-tiba saja duduk di sebelahnya dengan tangannya yang memukul-mukullan kertas rundown MPLS ke bahunya.

Melirik sengit ke arah Thalia yang hanya menunjukkan raut bingung.

"Mboh, kan lo ketupelnya" sungut Sabrina yang hanya dibalas cebikan kesal Thalia.

Meninggalkan dengan gerutuan yang masih bisa Sabrina dengar. Melangkah maju ke depan, mengambil alih mic. Sorakan riuh murid baru ditujukan ke Thalia.

Duh resiko cewek cantik.

Dirinya juga cantik kok. Cuma wajahnya sedikit lebih garang dari Thalia, padahal mah kalo garang-garangan kayaknya emang garangan si Sabrina. Hehe.

Ya kan Thalia emang baik ramah, feminin. Perawakan yang benar-benar cewek. Dirinya? Duh, make rok aja sebenarnya ogah-ogahan. Kalau bukan kebijakan dan peraturan dari sananya, Sabrina mau bikin celana aja buat bawahan seragamnya.

"Bri ngantin yok..."

Bangsta Sonyeondan.

Sabrina berjengit buat yang kedua kalinya. Tapi kali ini beda kayak yang Thalia sebelumnya. Jika Thalia cuma ngomong tiba-tiba sambil mukul pelan bahunya dengan kertas rundown. Kalo yang ini,

Pelan, bisik. Tapi tiba-tiba gituloh. Udah pas di depan telinga lagi.

(Kembali) melirik sengit ke arah Genta yang cuma menampilkan raut yang... Gimana ya.

Ganteng cuma nyebelin gituloh kalo menurut Sabrina. Muka-muka seperti seseorang yang tak tahu kejamnya guru produktif anak jurusan IT.

Emang gatau sih, toh kan beda jurusan.

Bukannya jawaban 'ayok' yang Genta dapatkan. Melainkan pukulan punggung tangan penuh kasih sayang pada jidat mulusnya sebagai hadiah cuma-cuma dari Sabrina.

Ctak!

"Jan-—" ngan ganggu aku lagi. Jangan ganggu aku lagi.

Hehe.

Untaian mutiara hitam, kata yang sudah terprogram otomatis di memory otaknya yang sebelumnya—-hampir-—akan terucap harus bertahan di pangkal tenggorokan.

Kalau bukan mengingat masih banyak murid MPLS dan beberapa guru, duh ultimatum itu udah tersemprot ke wajah Sabrina.

"Jan apa? Jan tangan? Jan hujan? Jan jan jan?"  ejek Sabrina yang cuma mendatangkan dengusan kesal dari Genta.

TirefriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang