Seorang pria keluar dari pintu rumah sakit dengan wajah lemas, seperti orang linglung yang kehilangan arah. Aku yang duduk dekat di parkiran hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Apa yang membuatku tertarik? Fokusku tertuju pada wajah tampannya. Ternyata lelaki tampan pun bisa galau. Aku pikir hidup mereka sempurna. Tidak seperti aku, yang serba kekurangan dan menderita.
Tiba-tiba kedua bola mataku membulat sewaktu aku melihatnya sedang diserang oleh dua preman. Tubuhnya didorong paksa ke permukaan mobil. Yang satu memasang wajah menantang, yang satu lagi menodongkan pisau.
Meskipun aku sama-sama tukang copet, tapi untuk kali ini aku tidak tega. Dia sepertinya baru berduka, aku harus membantunya. Bagaimanapun aku masih memiliki sisi baikku. Aku mencopet karena aku benar-benar butuh uang. Salah siapa, tidak ada satu pun orang yang mau memperkejakan aku. Iya, aku yang dianggap remeh dan dipandang sebelah mata.
Aku bangkit, membawa beberapa batu untuk kulemparkan pada mereka.
Tepat sasaran, aku segera menghajarnya. Aku perempuan, tapi tenagaku mirip lelaki. Aku dibesarkan orang tuaku dengan sangat keras. Dia mengajariku ilmu bela diri, dan teknik menyopet yang baik. Katanya supaya gampang cari uangnya. Dan yah, memang bukan tipe orang tua yang benar. Karena mereka bukan orang tua kandungku. Kalau aku melawan, mereka selalu mengungkit tentang kebaikan mereka yang berkenan merawatku ketika orang tua kandungku meninggalkan aku di kolong jembatan. Miris. Sudah aku katakan dari awal, hidupku memang penuh dengan penderitaan.
Aku berteriak minta tolong, mereka pun segera kabur sebelum massa datang menyerbu.
"Kenapa lo diem aja sih waktu mereka mau ngambil harta lo? Bahkan mereka juga pakai ngancem mau ngebunuh lo. Apa susahnya teriak, atau lawan, kan sama-sama laki." Aku meracau di depan wajahnya yang masih datar sambil mengunyah permen karetku yang tak manis lagi. Masih mending permen karet, ada masa manisnya. Daripada hidupku yang pahit semua. Dari awal sampai akhir masih tetep pahit.
Kutatap wajahnya yang tampan tapi sayu. Bisa bicara tidak sih sebenarnya?
"Harusnya kamu biarkan saya. Sudah tidak ada gunanya lagi saya hidup."
Aku terbengong.
"Semua harta yang saya punya juga udah nggak berarti apa-apa."
"Ya udah bagi ke gue kalau nggak ada gunanya," ucapku basa-basi, langsung saja kualihkan arah pembicaraan. "Kenapa bosen hidup? Sama, gue juga bosen hidup. Tapi gimana lagi." Aku merapikan topiku. "Yang namanya hidup, emang keras. Bunuh diri juga percuma, gue takut, banyak dosa."
Beginilah pakaian keseharianku. Pakai kaus pendek mirip baju lelaki, kadang dipadu kemeja, celana pendek berbahan levis. Tak lupa dengan topi yang selalu menutupi kepalaku. Memang tomboy. Aku bukan perempuan yang gemar ke salon, uang pun tak punya. Boro-boro dandan, untuk makan pun susah. Boro-boro ke salon, mandi aja kadang susah. Mandi juga harus pakai sabun, kan? Beli sabun itu harus pakai uang. Lagi-lagi segalanya itu pakai uang. Pipis ke WC aja pakai uang.
"Kenapa kamu bosan hidup?" tanya lelaki itu.
"Gini-gini aja, monoton. Nggak kaya-kaya. Susah."
"Oh."
"Lo nggak mau bilang terima kasih sama gue? Atauu, uang juga nggak papa, deh. Sebagai tanda terima kasih, lo bisa bayar gue pakek duit." Aku mengangkat tangan, meminta bayaran atas kebaikanku yang sudah mau menolongnya. Padahal aku sama-sama suka ngambil harta orang.
"Saya bakalan bilang terima kasih, kalau kamu mau mencarikan saya donor ginjal."
Aku terlonjak. Baru kenal udah minta ginjal aja.
"Saya butuh donor ginjal."
Kudengar suaranya begitu parau.
"Donor ginjal?"
Dia menganggukkan kepala.
"Buat siapa?"
"Buat saya."
"Ooh, jadi Mas nya ini sakit ginjal?" Aku mulai kepo, masih menatapnya penasaran, sebab aku masih tak percaya.
Kembali dia mengangguk. "Saya habis cuci darah. Saya capek cuci darah terus. Saya membutuhkan donor ginjal agar penderitaan ini berakhir."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Seolah ikut prihatin. Mungkin inilah alasannya mengapa dia terlihat seperti orang sakit yang sedang pasrah pada hidupnya. Dihadang preman pun ekspresinya biasa aja.
"Emmm kira-kira, lo bakal kasih berapa orang yang nanti donorin ginjal lo?"
"Seluruh kekayaaan saya, akan saya berikan untuknya."
Lagi-lagi aku terperanjat. Amazing! Pasti tajir melintir. Mobilnya juga bagus. Tapi sayang, penyakitan. Kalau sehat sudah aku coba dekati dan porotin hartanya.
Aku pun hanya bisa tersenyum gagu.
"Iya, nanti gue cariin, Mas." Biar cepet, ya udah aku bilang begitu aja. Lagian dia ngomongnya tiba-tiba, wajahnya juga datar. Aku yakin, dia sedang kehilangan arah dan bingung dengan hidupnya sendiri. Mungkin, setiap ada orang yang dia jumpai, ia selalu meminta dicarikan pendonor ginjal. Semacam iseng-iseng berhadiah.
Orang baik di dunia ini hanya ada satu berbanding sepuluh.
Sudah pasti dia kesulitan mencarinya. Siapa pula yang mau mengorbankan ginjalnya. Mereka juga masih pengin hidup sehat.
Dia pun memasuki mobilnya, meninggalkan aku yang masih berdiri mematung.
Hidup.
Ada yang sehat wal afiat, tapi kekurangan harta.
Ada yang bergelimang harta, tapi miskin kesehatan.
Lantas mau pilih yang mana?
Kalau sudah lihat yang begini, aku bisa menyukuri hidup. Ternyata aku lebih enak.
Ternyata nikmat sehat jauh lebih berarti
Tidur masih nyenyak meskipun tempatnya bukan kasur empuk.
Makan masih nikmat, meskipun makanannya bukan makanan mewah yang harganya mahal setinggi langit.
Baru aku sadari, nikmat sehat lebih utama.
✂✂✂
KAMU SEDANG MEMBACA
360 Hari √
Short Story#S H O R T S T O R Y Ini kisah 360 hariku bersamanya. Copyright© November 2018, JaisiQ