Demi Uang

8.1K 958 15
                                        

Aku pulang ke rumah, tanpa membawa uang. Sudah dipastikan malam ini aku tidak akan makan. Mana mungkin mereka mau memberiku makan secara cuma-cuma? Kalaupun iya, setelah aku selesai makan, pasti mereka akan menagihnya kembali dan membuatku ingin memuntahkan makanan yang telah turun ke perutku lagi.

Ini semua gara-gara lelaki itu. Aku jadi kepikiran. Kasihan dia. Butuh ginjal. Ih, kok aku jadi punya rasa peduli begini, ya? Padahal baru kenal hari ini.

Baru sampai di depan pintu, pintu sudah terbuka dari dalam  dengan hantaman keras, aku praktis terperanjat.

"Kebetulan kamu pulang! Nih, bawa barang-barang kamu dan angkat kaki dari rumah ini!" teriak ibu tiriku dengan emosi meletup-letup.

"Loh? Kenapa aku tiba-tiba diusir, Bu? Salah aku apa?" Aku bertanya dengan nada heran bukan main, kuambil kantong yang sudah dipastikan isinya adalah baju dan barang-barangku.

"Kamu salah! Banyak salahnya! Kami udah nggak sanggup nampung kamu lagi di rumah ini! Tuh, anak Ibu mau kuliah, nggak ada biaya. Kalau mau balik, cari duit yang banyak dulu!"

"Bu, kalau aku diusir, terus aku tinggal di mana? Lena nggak ada rumah selain di sini. Ayolah, Bu. Jangan kayak gini."

"Peduli setan kamu mau tidur di mana juga. Bukan urusan!"

"Ibu, plis. Lena janji bakal cari uang yang banyak."

"Janji-janji terus. Bulan depan Yuni mau daftar kuliah. Bisa telat kalau kamu lama cari uangnya! Lagian mana mungkin kamu bisa dapet uang itu." Mata ibu melotot, nyaliku ciut.

Aku menggigit bibir bagian bawahku sampai rasanya asin.

"Sudah! Sana pergi! Kamu boleh pulang, kalau kamu udah bawa uang yang banyak, selama ini kita udah kerepotan ngurus kamu!"

Lebih baik aku jadi anak jalanan kalau begini. Mereka merawatku tidak dengan rasa ikhlas, melainkan berharap diberikan imbalan di masa depan.

Pintu tertutup kembali, menimbulkan gema di telingaku. Kuembuskan napas pasrah, aku pun berbalik dengan sangat terpaksa.

Bagaimana caranya aku mendapatkan uang sebanyak itu? Masih mending kalau aku punya ATM, terus tinggal tarik di bank. Uang warna merah bisa keluar secara terus menerus dengan jumlah yang sangat banyak. Sayangnya, aku tidak punya benda itu. Kapan ya aku bisa punya? Mungkin harus menunggu lebaran monyet dulu. Aku tidak punya skill apa-apa selain jadi copet. Sekolah juga hanya tamatan SD.

Aku terus berjalan entah ke mana, di antara gelapnya malam, menenteng tasku yang lumayan berat.

Keesokan harinya.

Aku mendatangi rumah sakit tempat lelaki yang kemarin kutemui di parkiran. Tadi malam aku sudah memantapkan hati, bahwa aku akan mencoba memeriksakan ginjalku yang siapa tahu cocok untuknya.

Aku mau hidupku terjamin. Aku bosan hidup miskin dan dijadikan pelampiasan amarah orang tua angkatku yang kejam. Supaya mereka berhenti menagih hutang padaku, aku harus bisa membayar kebaikan mereka secepatnya. Aku ingin hidup bebas. Aku ingin hidup tanpa dihantui rasa balas budi. Sudah saatnya aku memulai hidupku yang baru.

Kata lelaki itu, dia akan memberikan seluruh kekayaannya pada orang yang mau mendonorkan ginjalnya. Aku akan pastikan orang itu adalah aku. Aku berharap, semoga lelaki itu belum mendapatkan donornya.

Semoga. Semoga. Semoga.

Hari ini ternyata dia tidak datang. Padahal aku sudah menunggunya di parkiran sampai menjelang malam. Mungkin saja ini bukan jadwal dia cuci darah. Aku kan katro, aku tidak tahu cuci darah itu dilakukan berapa kali dalam seminggu.

Selama dua hari aku tidur di mana pun yang aku bisa.

Tidur sambil berdiri pun bisa. Aku wanita kuat. Tidak perlu sedih. Aku masih bisa nyopet, kan? Membeli roti untuk makan, membeli air botol untuk minum. Dan bernyanyi bersama anak jalanan di pinggir jalan.

Hari ke tiga setelah aku diusir dari rumah, akhirnya aku melihat seseorang yang aku tunggu. Dia baru saja keluar dari mobil dengan kemeja putihnya. Kalau aku tidak tahu hal yang menimpa pada lelaki itu, pasti aku memandang dia sebagai lelaki sempurna tanpa cela.

Bismillah!

Semoga keputusan yang aku ambil ini benar. Semoga ginjalku ini cocok. Semoga aku dan dia bisa mendapatkan keuntungan yang sepadan. Aku berlari ke arahnya yang hendak melangkah memasuki gedung rumah sakit.

"Halo, apa kabar, Mas?" sapaku so kenal, so dekat, so ramah.

Demi uang.

Dia masih memasang wajah seperti dua hari ke belakang. Tidak tersenyum sedikitpun. Padahal aku sudah memberinya senyum pepsodent yang paling lebar. Tapi aku bisa memaklumi, wajar dia begitu. Ada beban yang harus ia tanggung sendirian. Eh, kan dia punya keluarga?

"Gue udah nemuin pendonor ginjal itu," ucapku langsung pada inti. Percuma basa-basi, dia tidak akan menanggapi. Buang-buang tenaga dan waktu. Malu juga kalau pada akhirnya dikacangin. "Kemarin lo minta cariin donor ginjal, kan? Gue ada orangnya."

"Kamu serius? Jangan kasih saya harapan palsu."

"Serius."

"Siapa?"

"Gue."

Dia terlihat kaget. Akhirnya aku bisa membuat dia kaget juga.

"Kenapa?" tanyaku mengangkat dagu.

"Emang kamu bersedia?"

"Coba dulu aja, siapa tau cocok. Gue bener-bener butuh duit, nggak papa deh, ambil aja ginjal gue kalau itu bisa nyelametin lo. Gue nggak papa hidup pakai satu ginjal."

Dia terdiam.

"Ya elaah, kok malah diem? Bukannya dua hari yang lalu lo butuh banget ya, Mas? Kenapa sekarang jadi nggak tertarik gini? Apa lo nggak mau nerima ginjal dari orang kayak gue?"

"Saya masih kaget, orang seperti kamu punya hati yang baik."

Aku terbang. Pujiannya terlalu berlebihan.

"Biasa, Mas. Kepepet. Apa pun bisa dilakuin kalau lagi kepepet."

"Memangnya kenapa?"

"Nanti gue ceritain."

"Ya sudah, ayo kita cek."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia langsung melangkah meninggalkan aku, yah, mungkin, aku harus punya inisiatif untuk mengikutinya. Mana mungkin aku menunggu sampai dia menarik tanganku? Rasanya, sampai upin-ipin naik ke SD pun tidak akan pernah kesampaian.

Pasti dia jijik. Aku bukan levelnya.

Dia kaya. Aku miskin. Dia ganteng. Aku jelek. Aah, pokoknya mirip bumi dan langit. Banyak perbedaannya.

Mana mau sih dia pegang-pegang tangan aku?

Eh, kok aku jadi baper?

✂✂✂

360 Hari √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang