Cuci Darah

6.9K 940 11
                                    

Selain belajar agama, aku juga rutin mengantar mas Rey melalukan cuci darah. Selama perjalanan menuju ruangan tempat cuci darah kami terus berpegangan tangan.

Entah untuk keberapa kalinya, aku memasuki ruangan cuci darah. Alat-alat pencuci darah dan pasien lain yang melakukan cuci darah menjadi santapan mataku dua sampai tiga kali dalam seminggu. Suara-suara mengerikan juga sepertinya sudah biasa mampir di telingaku, menimbulkan efek menyeramkan. Secara fisik mas Rey memang terlihat sehat, tapi aku tahu, kondisi psikisnya pasti menderita, lantaran harus bolak-balik rumah sakit, hanya demi bertahan hidup.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain cuci darah dan donor ginjal.

Kalau lalai saja tidak melakukan cuci darah, pastilah kondisi Mas Rey melemah. Betapa pentingnya melakukan cuci darah. Jujur aku ikut lelah, lelah melihatnya berjuang untuk tetap hidup. Tapi dia begitu sabar menjalani semuanya. Dia tidak pernah mengeluh atau marah-marah pada Tuhan.

Ada kalanya dia khilaf, yang membuatnya pasrah dan enggan melakukan cuci darah.

Ada kalanya juga dia bersyukur lantaran diberi sakit. Katanya sakit itu bisa melunturkan dosa-dosa. Katanya Allah sedang sayang padanya. Katanya, ada di luar sana orang yang lebih menderita. Yang sakit parah tapi tak ada biaya.

Aku tahu, dia sedang menyemangati diri. Apa daya aku, aku terlalu sungkan untuk menyemangatinya. Padahal dari lubuk hati terdalam, aku ingin berteriak menyemangati.

Satu kali cuci darah membutuhkan waktu tiga sampai empat jam, dengan proses yang barangkali sangat melelahkan.

Aku hanya bisa menunggu di luar, menunggu Mas Rey melakukan rutinitas yang bagiku cukup memprihatinkan. Aku yang tidak merasakannya pun merasakan bagaimana repotnya.

Jujur, aku tidak tega melihatnya terus-terusan seperti itu.

Ah, ada apa aku ini? Itukan Mas Rey yang merasakan, bukan aku? Kenapa aku ikut-ikutan lelah? Kenapa aku ikut-ikutan sedih? Kenapa aku ikut-ikutan takut?

Tapi kan, dia suamiku. Dia yang sudah mengajariku banyak hal.

Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Membayangkan semua kebersamaan kami yang sudah jalan ke hari 120. Sungguh, dia benar-benar sudah mengubah hidupku.

Satu lagi, walaupun orang tuaku tiri, tapi mas Rey tetap rutin mengirim mereka uang. Selain itu juga, dia sering bersedekah ke anak-anak panti asuhan.

Walaupun hanya tukang ngamen yang mampir ke rumah sambil menyanyikan lagu fals, dia tetap menyuruhku untuk memberi mereka uang. Bahkan dengan jumlah rupiah yang tak tanggung-tanggung.

"Kenapa, Mas?" aku mempertanyakan soal uang yang ada di tanganku.

"Itu uangnya berapa?"

"Lima puluh ribu."

"Kalau dipakai ke Mall besar atau kecil?"

"Kecil."

"Ternyata kecil ya. Ya udah, kasih ke pengamennya. Kamu salah, itu uangnya kecil berarti. Nggak perlu kaget."

Aku terhenyak. Betul apa kata mas Rey, kenapa uang jadi berubah nilainya kalau dipakai untuk ke mall dan diberi pada pengamen?

"Tapi kan mereka pengamen."

"Yang penting ngasih."

Mas Rey orangnya baik.

Tapi kenapa orang baik seperti dia harus ditimpa penyakit ganas itu?

Sedangkan orang jahat yang berkeliaran di dunia ini selalu diberi kesehatan tak terbatas.

Apakah Allah adil?

Aku menangis sesenggukan, aku sendiri tidak tahu kenapa aku menangis. Mas Rey yang sakit. Bukan aku.

Aku menangis karena aku merasa sakit di area lain. Dadaku nyeri, hatiku seperti tercabik-cabik tanpa sebab. Tidak seharusnya aku seperti ini. Kenapa juga hatiku sakit? Apa alasannya?

Kamu nggak cinta kan sama saya? Jadi saat nanti kamu kehilangan saya, kamu nggak akan sedih. Setelah saya meninggal nanti, kamu boleh nikmatin semua harta saya yang akan jatuh ke tangan kamu. Kamu pun bebas memilih suami baru.

Kata-kata mas Rey di hari lamaran itu kembali terngiang di kepalaku.

Hatiku malah semakin teriris.

Harta.

Suami baru yang nantinya pasti lelaki yang aku cintai.

Aku bisa mendapatkan keduanya setelah mas Rey meninggalkan aku nanti.

Jahat sekali aku jika memang keinginanku seperti itu. Betapa durhakanya aku pada suami.

Tidak, aku tidak mau.

Aku mau mas Rey tetap hidup. Aku ingin belajar agama lebih banyak lagi dengannya. Aku mulai takut pada Tuhanku. Masih banyak ilmu yang belum aku ketahui. Sekarang aku mengerti, bahwa surganya istri ada pada suami.

Mas Rey harus hidup. Aku tidak mau hartanya.

Ah, aku kenapa? Kenapa jadi berpikir begini? Tujuan utamaku uang,  bukan berumah tangga bersama mas Rey dengan waktu panjang.

Tiba-tiba saja ada tangan yang menggenggam tanganku, kuangkat kepala, ternyata pemilik tangan ini adalah Mas Rey. Orang yang sukses menjadikanku wanita labil sedunia.

"Kamu kenapa nangis? Kamu capai ya antar saya ke sini?"

Aku menggelengkan kepala.

"Ini percuma, Len. Saya nggak akan sembuh." Mas Rey terduduk di lantai, melepaskan genggaman tanganya di tanganku. Aku takut, selamanya tangan itu akan jauh dari tanganku karena perbedaan dimensi tempat.

"Lebih baik saya berhenti cuci darah. Lebih baik saya tinggal menunggu ajal menjemput. Saya nggak mau jadi beban untuk kamu. Ini percuma." Dia menggeleng lemah. Pandangannya kosong.

Dia pasti sedang khilaf. Sungguh, aku ingin menyemangati. Tapi lidahku kelu.Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kenapa gitu, Mas? Aku nangis bukan karena lelah bantuin Mas."

"Lalu?"

Aku terdiam.

"Lalu apa?"

"Aku ..."

"Lalu...?"

Aku kasihan lihat kamu. Aku nggak tega lihat kamu. Aku, aku pengin kamu sembuh. Aku, nggak mau harta itu, aku cuma mau kamu sembuh.

Sayangnya, ucapan itu hanya nyangkut di kepala. Aku tidak berani bicara.

Aku malu. Aku takut salah bicara. Aku takut perkataan itu hanya bersifat sementara.

Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Itu akan berisiko fatal. Aku tidak mau merasakan sakitnya kehilangan.

"Aku ... aku lapar."

Dia tersenyum.

"Saya payah, mana mungkin kamu lelah, kan kamu sedang menunggu uang."

Heeh?? Dia bicara apa?

Harusnya aku biasa aja, karena ucapan mas Rey ada benarnya.

Ya, benar, tapi itu dulu.

Sekarang beda lagi.

Aku rasa Mas Rey sedang salah paham.

Dan hanya aku yang bisa menghentikan kesalahpahaman itu.

✂✂✂

360 Hari √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang