Jatuh Cinta

6.6K 947 9
                                    

Aku merasakan kepalaku berat sekali, sesekali aku meringis. Kupaksakan mata untuk melirik jam yang berada di dinding. Pukul tujuh pagi. Astagfirullah! Aku terperanjat. Aku kesiangan.

Tadi saat selesai subuh, aku malah tidur karena merasa semua badanku remuk, kepalaku juga saagat pusing, jadi aku malah kebablasan tidur. Padahal hari ini adalah jadwal mas Rey cuci darah. Aku harus segera mandi.

Mas Rey juga, kenapa dia tidak membangunkan aku?

Namun, ketika aku baru menyingkap selimut, mas Rey datang menghampiri sambil membawakan senamapan bubur, aroma kuah ayamnya merebak, membuat perutku keroncongan.

"Kamu tidur aja," katanya, lalu meletakkan nampan di atas nakas, kemudian dia duduk di sebelahku. Memakaikan aku selimut lagi.

"Maaf Mas, aku kesiangan."

"Nggak pa-pa. Badan kamu panas, jadi saya nggak berani bangunin."

"Panas?" Aku meraba keningku, benar saja, panas. Pantas saja aku merasa pusing sewaktu bangun tidur tadi.

"Kamu makan, ya. Nanti minum obat."

"Tapi Mas, hari ini aku harus antar Mas cuci darah."

Dia mulai mengaduk buburnya,  dan menyuapi aku dengan telaten. "Ayo baca bismillah, supaya berkah. Ada perbedaan antara bubur yang dimakan diawali bismillah sama yang nggak."

Aku pun merapalkan bismillah, kumakan sesendok bubur hangat yang disodorkan mas Rey.

"Kamu kan lagi sakit, saya bisa sendiri. Jadi kamu nggak perlu antar."

"Nggak pa-pa, aku paksain aja."

"Jangan, saya bisa sendiri. Lebih baik kamu istirahat supaya bisa cepat sembuh. Kamu pasti sakit gara-gara kelelahan ngurus saya."

"Siapa yang lelah? Nggak kok, Mas. Aku justru senang."

Dia terdiam, sambil terus menyuapi aku.

Setelah bubur habis, dia meletakkan kembali nampan itu. Dia juga membantuku menurunkan bantal, agar aku bisa rebahan kembali. Dia tarik selimut sampai ke dagu.

"Selamat beristirahat."

Tak lupa, dia mendaratkan kecupan di keningku.

Aku merasa panas-dingin. Mas Rey sudah biasa melakukannya, tapi kali ini rasanya berbeda.

Atau memang perasaanku sudah berubah terhadapnya?

Setelah mengecup keningku, dia pergi meninggalkan aku sendirian. Kujangkau punggungnya yang semakin menjauh dari retina.

Saat dia akan menutup pintu, dia menatapku sejenak dengan sorot teduh.

Oh Allah, betulkah dia suamiku?

Pintu tertutup.

Aku masih menatap ke arah pintu. Keheningan menemaniku.

Aku tidak menyangka, bisa membangun istana rumah tangga yang indah dan penuh keharmonisan ini.

Aku tidak menyangka, hidup dengan lelaki baik seperti mas Rey.

Tak sekalipun dia pernah membentak istrinya.

Aku pernah sempat memasak makanan gosong.

Aku pikir mas Rey akan marah-marah, atau memuntahkannya dengan bentakan khas seorang suami yang merasa istrinya tidak becus masak.

Tapi tidak. Dia malah memakannya dengan lahap. Sayang kalau tidak dimakan, mubazir. Lalu setelah itu, dia pun mengajari aku cara masak yang benar. Katanya, dia bosan makan masakan pembantu. Dia ingin merasakan lezatnya makanan buatan istri.

Kami pun masak bersama di dapur. Cukup mesra, selain dibimbing pada kebaikan, aku juga dibimbing bagaimana caranya menjadi istri yang benar.

"Kalau masak wortel, kulitnya harus dikupas dulu. Baru dipotong."

Aku tertawa, begapa katronya aku. Memotong wortel saja salah.

Hari itu aku masak sup ayam dengan mas Rey, dan hasil masakannya membuatku takjub. Rasanya di luar ekspektasiku. Kami pun makan bersama saling berhadapan. Kami juga mempraktekan adegan suap-suapan.

Aku merasa beruntung, dipertemukan dengan malaikat.

Kutarik selimut sampai menutupi wajahku.

Kuakui, aku telah jatuh cinta pada lelaki itu.

Dinamakan apakah jika jantung seseorang berdetak di luar batasan normal ketika berdekatan dengan dia?

Dinamakan apakah jika rasa bahagia melingkupi ketika berasama dengan dia?

Kutelah menemukan jawabannya.

Jawabanlah adalah cinta.

Cintaku telah berlabuh pada dia yang telah menjadi suamiku.

Seharusnya aku bahagia.

Tapi aku malah merasa sedih.

Haruskah aku mendonorkan ginjalku?

Mas Rey lebih membutuhkannya daripada aku.

✂✂✂

360 Hari √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang