I

5.5K 282 61
                                    

"Galih, aku cinta sama kamu."

Lelaki bertubuh tinggi itu tertegun, lalu tersenyum, saat gadis manis di hadapannya menyatakan perasaan.

"Maaf, Imah. Aku cuma menganggapmu sebagai sahabat." Kemudian ia mengeluarkan sebuah kartu undangan pernikahan dari saku jaket kulitnya.

"Aku akan menikah. Aku mohon doa restumu," ucap si lelaki sambil menyerahkan kartu undangan itu.

Seakan ada belati yang menghunjam dada. Dasimah merasakan sakit luar biasa. Dengan retina yang mulai basah, dan tangan yang bergetar, ia mengambil kartu itu, lalu membukanya perlahan.

Sebaris tulisan bertinta emas seperti kilatan petir menyambar netra.

Galih Ramdhan & Imas Cempaka

Langit yang cerah pun mendadak hitam. Badai menerjang, mengempaskan Dasimah yang menatap nanar punggung Galih yang berangsur menghilang, meninggalkannya yang terhisap lumpur hidup berbau busuk. Di dalamnya Dasimah dikelilingi iblis dan jin dengan berbagai bentuk dan rupa yang hampir tak dapat dijelaskan.

Dasimah terbangun dari tidurnya dengan bulir keringat dingin memenuhi kening, dan napasnya memburu. Ia mendengus kesal. "Mimpi itu lagi!" geramnya.

Dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak cintanya bertepuk sebelah tangan pada lelaki kampung yang menjadi sahabatnya sejak kecil. Tidak terlalu tampan, tapi selalu memikat hatinya.

Dasimah yang sudah terlanjur sakit hati, menyimpan rasa benci yang amat sangat pada Galih dan keluarga kecilnya. Pun pada pasangan suami-istri yang rumah tangganya tampak baik-baik saja. Terlebih lagi, Dasimah bukanlah orang yang berkecukupan materi, membuatnya semakin benci sekaligus iri dengan orang-orang yang memiliki segalanya.

Seketika itu juga Dasimah bersumpah tidak akan mencintai lelaki mana pun. Di usianya yang kini menginjak lima puluh tahun, ia lebih memilih menjadi perawan tua. Ia bahkan nekat mempelajari ilmu hitam untuk membalas dendam pada Galih, dan tak segan menyakiti orang-orang yang dibencinya. Cinta ditolak, dukun bertindak. Mungkin, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.

Dasimah duduk dari posisi tidurnya,  lalu melirik jam yang menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Ia beranjak dari kasur kapuk yang sudah tipis, yang membuat biji-biji kapuk itu menonjol, membuat punggungnya sakit.

Dibukanya laci bufet di samping kasurnya. Tatapan tajam serta sebuah seringaian menghiasi wajah Dasimah, tatkala melihat sebuah boneka santet berukuran kecil, dengan foto seorang wanita menempel di bagian kepala boneka itu. Diambilnya boneka tersebut, dan sebuah jarum jahit.

"Rasakan ini, Imas sialan! Rasakan!" serunya sambil menusuk-nusukkan jarum itu ke arah kaki boneka sambil merapalkan jampi-jampi.

"Dia kesakitan," sebuah bisikan memberitahu Dasimah bahwa di lain tempat, kaki Imas sedang kesakitan akibat tusukan itu.

"Ahahahahaaa!!" Dasimah tertawa puas, lalu menghentikan aksinya. Dikembalikannya lagi boneka dan jarum ke dalam laci.

Setelah itu Dasimah memakai sweater, dan dengan asal-asalan dipakainya juga kerudung hitam panjang, lalu dililitkannya ke leher.

Kemudian kakinya melangkah ke dapur yang jauh dari kata bersih dan modern. Hanya ada tumpukan kayu bakar, serta hawu yang biasa dipakainya memasak. Tikus-tikus got kocar-kacir saat Dasimah tiba. Ia mengambil sebuah lampu minyak yang tergantung di dinding yang hanya berupa sekat bambu. Dinyalakannya lampu minyak itu, dan Dasimah pergi ke luar rumah, yang lebih pantas disebut gubug.

Hawa dingin yang menusuk, serta heningnya malam temani langkah wanita berusia setengah abad teesebut menuju pemakaman. Ia menatap lekat tulisan di sebuah gapura besar yang menyambut kedatangannya.

'ANA-YA'INU (TATAPAN NYAI DASIMAH) [Terbit]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang