XI

2.9K 158 1
                                    

Kang Asep yang sedang ikut melayani pembeli terkejut melihat Nining tiba-tiba kerasukan. Warung makan mereka yang ramai sontak saja heboh. Kang Asep segera menghampiri istrinya.

"Cai, cai! (Air, air)" seru Kang Asep, memberi isyarat kepada seorang pegawainya untuk membawakan segelas air minum. Saat tangannya sudah memegang gelas itu, bibirnya mulai komat-kamit.

"Curulung cai ti manggung, barabat ti awang-awang, cai tiis tanpa bisi, mun deuk nyatru ka si itu, mun deuk hala ka si eta, anaking palias teuing." (**Singlar Ka Musuh-Dari Panyungsi Sastra, karya Yus Ruyana)

Setelah merapal mantra, Kang Asep meniup ke dalam gelas, meminumnya, dan ...

'Byurr!'

Kang Asep menyemburkan air itu tepat ke wajah Nining. Seketika Nining pun tergeletak.

"Alhamdulillah ...," lirih hamdallah terdengar dari bibir Kang Asep dan sebagian pengunjung yang melihat.

Namun, saat Kang Asep hendak membopong tubuh Nining, tiba-tiba saja mata wanita berumur 35 tahun itu terbelalak, kemudian tawanya menggelegar.

Sontak saja Kang Asep dan yang lain beringsut mundur. Nining kembali duduk bersila. Iris hitamnya tajam menatap sang suami.

"Hei, manusa! Aing bogoh ka pamajikan maneh. Aing hayang kawin jeung manehna! (Hei, manusia. Saya suka dengan istrimu. Saya mau kawin dengan dia)" Suara Nining terdengar begitu berat dan menggema, seperti suara raksasa.

Pengunjung yang mendengarnya merasa ngeri. Satu per satu dari mereka lari terbirit-birit ke luar dari warung makan karena takut. Sementara itu, dua orang pegawai tetap berada di belakang Kang Asep untuk berjaga-jaga.

"Nyingkah sia ti awak pamajikan urang, setan! (Pergi kamu dari badan istri saya)" teriak Kang Asep.

Nining terdiam. Pandangannya lurus ke depan, dingin.

"Ning ...." Perlahan Kang Asep mendekati Nining, lalu mengusap bahunya. "Nining ...."

Nining melirik Kang Asep, kemudian terkikik. Suaranya kini telah berubah menjadi suara wanita, tapi tetap saja bukan suara Nining.

Kang Asep terperanjat. Ia mengusap wajahnya kasar. "Tulung urang atuh! (Tolong saya, dong!)" serunya kepada para pegawainya yang hanya diam menonton.

"Assalamu'alaikum."

Ada yang datang. Kang Asep dan kedua pegawainya menoleh ke sumber suara, lalu menyahut, "Wa'alaikumussalam."

"Maaf, Pak, warungnya mau saya tutup. Istri saya kesurupan," kata Kang Asep menunjuk Nining yang terdiam dengan tatapan kosong, sesekali tersenyum tak jelas.

Pria berpeci putih yang datang itu kemudian tersenyum. "Justru saya datang ke mari untuk membantu, Pak. Barusan ada yang mengadu pada saya," ujarnya.

Kang Asep mengernyit. "Membantu?" Ia tersenyum miring. "Memangnya Bapak siapa? Dan bisa bantu apa?"

Pria tersebut mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Kang. Saya Ustaz Fikri, pendiri Pondok Ruqyah."

Kang Asep dengan angkuhnya membuang muka, tak menyambut tangan ustaz. "Ya sudah, coba disembuhkan istri saya."

Dengan legawa Ustaz Fikri menarik kembali tangannya, mengelus dada. "Boleh Akang ke pinggir sebentar?"

Kang Asep mengangguk. Kemudian ia memberi isyarat kepada kedua pegawainya untuk menepi juga. Ustaz Fikri pun mendekati Nining.

Ustaz Fikri menunjuk Nining sambil membaca Ayat Kursi. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah, Nining berdiri sambil menari-nari.

"Pak Ustaz tolong!"

Ustaz Fikri menoleh saat salah satu pegawai Kang Asep memanggil. Belum selesai urusan dengan Nining, ternyata sekarang Kang Asep ikut kerasukan. Dirinya memasang kuda-kuda, tangannya bak harimau yang siap menerkam.

Ustaz Fikri menatap Kang Asep dan istrinya bergantian. "Pegang tangannya, jangan dilepas!" perintah Ustaz kepada pegawai-pegawai itu.

Ustaz Fikri merentangkan kedua tangannya. Tangan kanan menunjuk Nining, serta tangan kiri menunjuk Kang Asep. Iamulai membacakan lagi ayat-ayat suci Alquran. Setelahnya, pasutri tersebut jatuh lemas.

"Apa yang Akang dan Teteh rasakan?" tanya Ustaz Fikri.

"Capek, Taz. Lemas badan saya," jawab Nining. Sementara Kang Asep diam saja

"Apa kalian ingat, apa yang kalian lakukan tadi?"

Nining dan suaminya serempak menggeleng.

"Kang, Teh, hari Ahad nanti insyaallah saya mengadakan acara ruqyah massal di Masjid Baiturrahman yang berada di alun-alun kota. Datanglah jika berkenan. Kalian harus diruqyah lebih lanjut," ujar Ustaz Fikri.

"Baiklah, Pak Ustaz. Terima kasih sudah menolong kami," sahut Nining.

"Kalau begitu saya pamit dulu. Jaga diri kalian. Perbanyak istigfar. Assalamu'alaikum." Ustaz Fikri ke luar dari warung makan, dan berlalu di kegelapan malam.

"Kamu gimana, sih, Ning?" Kang Asep menyikut lengan Nining.

"Bagaimana apanya, Kang?"

"Kalau kita ikut ruqyah, nanti kita ketahuan pakai jimat penglaris! Kamu mau kita jatuh miskin lagi?"

Nining terdiam, tampak berpikir. "T-tapi, Kang ... Ning takut kalau genderuwo itu mengganggu lagi ... hiiyy." Nining bergidik.

"Akh!" Kang Asep berdiri. "Ayo, kita pulang!"

***

Sebelum salat Jumat, Ustaz Fikri sengaja menyambangi kediiaman Gumilar untuk mengetahui keadaan ibunya. Namun, yang menyambut kedatangan Ustaz Fikri justru kibaran bendera kuning yang dikaitkan di pagar rumah.

"Innalillahi wa inna illaihi roji'un ... siapa yang meninggal, ya?" gumam Ustaz Fikri. Ia segera masuk ke pekarangan rumah. Tampak beberapa tetangga sudah berada du dalam.

"Assalamu'alaikum." Ustaz Fikri mengetuk pintu.

"Wa'alaikumussalam," sahut Bapak-bapak dan Ibu-ibu.

Mata Ustaz Fikri menatap nanar Gumilar yang sedang menangis di samping jenazah yang telah ditutupi kain kafan. Perlahan ustaz pun masuk dan menghampiri pria itu.

Gumilar menoleh saat Ustaz Fikri duduk di sebelahnya. "Ustaz ... Ibu saya ... Ibu saya meninggal ...." Ia meraung-raung.

Ustaz Fikri kembali mengucap istirja', lalu mengusap punggung Gumilar. "Sabar, Kang ... yang tabah. Ikhlaskan."

Mata Gumilar yang sembab menatap ustaz. "Saya tidak mau tahu, Ustaz. Saya harus mencari wanita yang telah membunuh Ibu saya."

"Astagfirullahaladziim. Tidak baik seperti itu, Gumilar. Tidak boleh balas dendam. Lebih baik doakan ibunya. Lagi pula ... mangnya Kang Gumilar sudah tahu, siapa wanita itu?"

Gumilar menggeleng lemah. "Tidak, Ustaz. Ibu hampir saja menyebutkan ciri-ciri wanita itu semalam. Tapi belum berbicara banyak, ajal sudah menjemputnya." Gumilar meremas-remas rambutnya. "Tapi, Ustaz, kata Ibu saya, wanita itu memiliki tahi lalat di antara kedua alisnya."

Ustaz Fikri mengernyit. "Sudah ... sudah. Wanita yang seperti itu banyak, Kang. Jangan sampai kita malah nanti salah sasaran."

Gumilar menghela napas kasar. "Ustaz, tolong pimpin kami salat jenazah."

Ustaz Fikri tersenyum, lalu mengangguk. "Ya."

--bersambung--

Hanya jiwa-jiwa yang dirasuki setan, yang tak mau mendengarkan ayat-ayat Allah, serta ajakan yang membawanya kepada kebaikan.

Salam, Author.

Note:
** Singlar yaitu puisi mantra yang bertujuan untuk mengusir musuh, binatang dan roh-roh halus.

'ANA-YA'INU (TATAPAN NYAI DASIMAH) [Terbit]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang