2. Segenap Rasaku

14K 1.1K 27
                                    

Hari ini suasana hati Agam benar-benar buruk. Semua itu karena ulah perempuan yang selalu ia harapkan dapat mengurangi rasa lelahnya setelah perjalanan dinas dari luar kota. Siapa lagi kalau bukan Kinar. Untuk yang kesekian kali Kinar memintanya menikah lagi dengan alasan yang sama.

Sudah beribu kali Agam mengatakan ini pada istrinya; tanpa anak tak jadi soal. Bagi Agam hidupnya sudah lengkap dan bahagia. Tapi istrinya tak pernah paham. Omongannya hanya dianggap angin lalu. Lagi pula menikah lagi bukan jalan satu-satunya mendapatkan keturunan. Masih banyak cara lain salah satunya dengan mengambil alih perawatan dari panti asuhan. Tidak ada salahnya bukan, bila yang menjadi pemicunya adalah anak? Kinar bisa mengasuh anak yatim piatu sebanyak yang diinginkan.

"Kamu kapan sampai rumah?" Suara ibunya tiba-tiba muncul di tengah-tengah lamunan. Seperti yang sudah-sudah, wanita paruh baya itu akan langsung masuk ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu.

Agam beranjak dari kursi menghampiri ibunya. "Tengah malem," jawabnya singkat.

"Ada yang mau mama omongin serius sama kamu. Sini duduk!" Ibunya melambai, menepuk sisi sofa yang kosong untuknya duduk.

"Ngomong apa?" Agam lekas menuruti titah itu.

"Kemarin mama ketemu Aysha."

Pergerakan Agam untuk duduk melambat. Pandangannya langsung beralih pada perempuan di sampingnya. Sesaat kemudian ia tertegun. Sudah berapa lama sejak terakhir ia bertemu perempuan itu. Setelah lamarannya ditolak nyaris delapan tahun yang lalu Agam memilih pergi dari Surabaya. Lantas sekarang apa yang dilakukan perempuan masa lalunya itu di sini?

"Dengerin mama dulu. Jangan menyela!" Ibunya menghela napas pelan sebelum mulai bercerita. "Rumah tangga Aysha hancur karena musibah, Gam. Suami dan anaknya kecelakaan. Suaminya meninggal di tempat kejadian, sedangkan anaknya sekarang lagi kritis."

Agam diam. Prihatin.

"Usaha suaminya bangkrut. Bisnisnya hancur karena pengkhianatan rekan-rekannya. Dua tahun Aysha hidup susah dan merantau ke sini. Berharap di sini dapat kehidupan yang layak. Tapi malah sebaliknya yang dia dapat."

Bagaimana bisa perempuan yang dulu pernah mengisi hari-harinya mengalami cobaan sedemikian berat. Seingat Agam, saat ia belum menjadi apa-apa, suami Aysha sudah menjadi kontraktor yang sukses. Perusahaannya bahkan memiliki cabang di berbagai daerah.

"Aysha butuh bantuan untuk pengobatan anaknya, Gam. Anaknya harus menjalani beberapa kali tindakan dan biayanya nggak sedikit." Ibunya semakin mengencangkan genggaman tangannya.

"Yaudah tinggal dibantu aja. Kita udah biasa bantu orang kan, Ma? Kasih berapapun yang dia butuhkan."

"Bukan begitu. Kita sebenarnya sama-sama saling membutuhkan. Dia membutuhkan uang dan kamu membutuhkan keturunan."

Agam mengernyit. Belum memahami kemana arah percakapan ini bermuara. "Maksud mama apa sebenarnya?"

"Menikahlah dengan Aysha. Dengan begitu, kamu bisa mengambil alih beban hidupnya di pundakmu. Kita nggak serta merta bisa ngasih bantuan gitu aja. Kondisi anaknya parah. Akan butuh waktu lama untuk pulih. Bukankah lebih baik kita memanfaatkan keadaan? Kinar juga sudah setuju, bahkan dia sangat bersemangat. Aysha juga sudah bersedia."
.
.
.
"Sampai kapan kamu diemin aku, Mas? Aku kan udah minta maaf. Lagian, semua kulakukan demi keluarga kita. Kupikir nggak ada yang salah."

Agam menulikan telinga. Sibuk menekan-nekan remot, mengganti saluran televisi untuk mengalihkan perhatiannya dari perempuan di sebelahnya.

"Mas! Mas dengerin aku nggak, sih?" Perempuan itu menepuk bahunya keras-keras sambil merengek seperti biasanya.

Agam menangkap kedua bogeman mungil itu dan menatap istrinya lekat. Ia ingin menanyakan hal yang sedari tadi menggangu pikirannya. "Kamu benar-benar pengin aku nikah lagi? Gimana kalau nanti aku nggak bisa adil dan lebih condong sama yang baru ketimbang kamu? Kamu rela? Kamu mau aku begitu?"

Perempuan itu tampak kaget dengan pertanyaannya. Nada keragu-raguan pun muncul terbata. "Kamu pasti bisa adil, Mas. Nggak mungkin kamu tega ngelakuin itu sama aku."

Dagu Agam terangkat. Rasa iba itu selalu muncul saat tampilan wajah ayu di depannya berubah sendu. "Kenapa nggak? Kalau dia hamil, siapa tahu aku langsung berpaling. Aku akan dengan senang hati memberinya perhatian khusus. Ngabisin waktu banyak sama dia ketimbang sama kamu. Lambat laun ... aku ... akan lupa sama kamu."

"Mas!"

"Udahlah, Ki. Lupakan permintaan konyolmu itu. Kamu nggak akan kuat. Poligami itu nggak semudah yang kamu bayangkan. Please, jangan ada pembahasaan soal ini lagi. Masih banyak cara menuju roma."
.
.
.
"Dokter saya mohon, Dok, sembuhkan anak saya. Berapapun akan saya usahakan. Dia sangat berharga buat saya, Dok. Saya tidak punya siapa-siapa lagi selain dia. Saya mohon sembuhkan dia, Dok. Saya mohon."

Dari jauh Agam mendengar raungan perempuan itu dengan hati tercubit. Matanya pun ikut memanas saat melihat Aysha ambruk di kaki sang dokter, dan menangis sejadi-jadinya. Agam semakin terenyuh di tempatnya berdiri.

Tampak sang dokter langsung menyongsong tubuh ringkih itu untuk kembali pada posisi awal. "Bu Aysha, tolong jangan lakukan ini. Saya mohon Bu Aysha lebih sabar dan kuat. Saya tahu betul apa yang ibu rasakan. Saya juga akan merasakan kehancuran itu apabila tidak bisa menyelamatkan Abyan. Kami di sini para tim medis akan berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhannya. Proses perawatannya masih lumayan panjang, Bu. Saya mohon doa dan kesabaran Bu Aysha saat ini untuk semangat saya menyembuhkan Abyan."

Tak banyak kata, Agam langsung berbalik menuju resepsionis, melakukan hal yang membawanya datang kemari.

"Wakil atas nama Aysha Leiliana ada, Mbak?"

"Sebentar, saya carikan dulu datanya." Selang beberapa menit. "Pasien atas nama Anak Abyan Nandana dengan ibu Aysha Leiliana Alhabsyi. Ada yang bisa dibantu, Pak?"

"Saya akan membayar semua biaya administrasi yang diperlukan untuk pengobatan. Dan tolong hubungi saya di nomor ini saat nanti butuh sesuatu."

Satu Hati, Dua Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang